- Presiden Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7%
- Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Jokowi hanya 4% per kuartal
- Kenaikan harga bahan pangan dan jasa membuat daya beli tertekan sehingga ekonomi gagal melambung
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji membuat ekonomi Indonesia meroket hingga 7%. Namun, misi besar presiden gagal diwujudkan karena banyaknya hambatan, termasuk kebijakan pemerintahannya yang menekan daya beli serta suku bunga tinggi.
Pada masa kampanye 2014, Presiden Jokowi berjanji menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Pada Agustus 2015, Jokowi kembali menegaskan jika ekonomi Indonesia akan meroket setelah kuartal II-2015 hanya tumbuh 4,97% (year on year/yoy).
Ekonomi Indonesia memang sempat melambung ke level 7,08% (yoy) pada kuartal II-2021. Namun, lonjakan pertumbuhan lebih disebabkan oleh basis perhitungan yang sangat rendah pada kuartal II-2020 yakni kontraksi sebesar 5,32% (yoy).
Seperti negara lain, ekonomi Indonesia memang luluh lantak setelah diterjang pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak Maret 2020.
Namun, dengan basis ekonomi yang sama-sama terkontraksi, banyak negara tetangga Indonesia yang justru mampu membukukan ekonomi double digit.
Vietnam mampu tumbuh 13,71% pada kuartal II-2022, Arab Saudi mencatatkan pertumbuhan double digit 12,2% pada kuartal II-2022, sementara Brasil pada kuartal II-2021 (12,4%)
Negara yang kerap dibanding-bandingkan dengan Indonesia yakni Malaysia dan India bahkan sudah membukukan pertumbuhan double digit dua kali sejak periode pandemi hingga 2022.
Malaysia mampu tumbuh double digit pada kuartal II-2021 (15,9%) dan kuartal III-2022 (14,25). India pada pada kuartal I-2021/2022 dan kuartal I-2022/2023 masing-masing sebesar 20,1% (yoy) dan 13,5% (yoy).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pertumbuhan ekonomi pada 2015-2022 mencapai 4% per kuartal. Pencapaian tersebut jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata per kuartal era awal reformasi (2000) hingga 2014 yakni 5,34%.
Sebagai catatan, meski dilantik pada Oktober 201, Jokowi baru menjalankan pemerintahan penuh sejak 2015.
Pada saat mengawali pemerintahan, Jokowi langsung melakukan gebrakan dengan menaikkan harga BBM subsidi hingga 33,57% pada 14 November 2014.
Kenaikan harga BBM pun langsung melambungkan inflasi hingga 1,50% (month to moth/mtm) sementara pada Desember menyentuh 2,46% (mtm).
Kenaikan harga membuat ekonomi Indonesia terpukul. Pada 2015 atau tahun pertama Jokowi menjabat secara penuh, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,8%. Angka tersebut jauh di bawah 2013 yang tercatat 5,7%.
Hantaman demi hantaman kenaikan harga sepanjang 2015-2022 juga membuat daya beli lunglai padahal konsumsi rumah tangga memegang porsi 54-56% dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang biasanya berada di kisaran 5%, melandai ke level 4,9% pada 2017. Pada tahun tersebut, pemerintah menaikkan tarif listrik sebanyak tiga kali yakni pada Januar, Maret, dan Mei.
Kenaika tarif listrik berbarengan dengan kebijakan kenaikan biaya penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang naik dua hingga tiga kali lipat pada Januari 2017.
Inflasi pun langsung melambung 0,62% pad Januari 2017. Biaya STNK dan listrik menjadi dua komponen penyumbang inflasi terbesar pada 2017.
Pada 2018, pelemahan daya beli mulai menjadi banyak pembicaraan setelah inflasi terus melandai bahkan deflasi pada dua bulan beruntun pada Agustus dan September.
Inflasi inti yang mencerminkan permintaan bahkan terus melandai hingga ke level 2% padahal biasanya bergerak di kisaran 3-4%.
Pada 2019, pemerintah menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga sebesar 100%.
Kenaikan iuran menjadi perdebatan panas karena dinilai terlalu tinggi. Pada tahun yang sama, tarif angkutan udara juga terus melambung 40-120%.
Kenaikan tarif sebenarnya sudah terjadi sejak akhir Desember 2018 tetapi tidak juga turun hingga Mei 2019.
Pada 2020, ekonomi Indonesia luluh lantak karena pandemi Covid-19. Untuk pertama kalinya sejak Krisis Moneter 1997/1998, ekonomi Indonesia terkontraksi.
Pembatasan mobilitas membuat angka pengangguran dan kemiskinan kembali naik.
Angka kemiskinan sempat melonjak tajam pada September 2020 atau enam bulan setelah pandemi. Pada periode tersebut, jumlah penduduk miskin menyentuh 27,5 juta orang dan tingkat kemiskinan mencapai 10,19%.
Pada 2022, pemulihan ekonomi Indonesia dan konsumsi rumah tangga menghadapi cobaan berat karena kenaikan harga BBM serta lonjakan harga bahan pangan.
Konsumsi kembali melandai di bawah 5% pada kuartal IV-2022 setelah sempat naik menjadi 5,39% pada kuartal II-2022.
Tahun 2022 juga diwarnai dengan melambungnya harga cabai rawit hingga Rp 100.000 per kg sampai hilangnya minyak goreng.
Kebijakan pemerintah mengenai minyak goreng terus bergonta-ganti sejak awal Januari hingga Maret 2022, mulai dari satu harga higgga kemudian dilepas pasar lagi.
Selain daya beli, melandainya investasi ikut menekan pertumbuhan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Rata-rata pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi mencapai 3,7% per kuartal pada 2015-2022. Padahal, periode sebelumnya mampu tumbuh 5-6%.
Turunnya investasi membuat peran investasi dalam distribusi PDB dari sekitar 33% kini berada di kisaran 29-30%.
Sebagai antisipasi lonjakan inflasi, Bank Indonesia (BI) langsung menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps (basis points) menjadi 7,75% pada 18 November 2014.
Kenaikan suku bunga tersebut kian memperketat kebijakan hawkish BI yang sudah dilakukan sejak pertengahan 2013.
Sepanjang Juni-Desember 2013, kubu MH Thamrin menaikkan suku bunga acuan sebesar 150 bps hingga menjadi 7,5% pada akhir 2013. Level tersebut adalah yang tertinggi sejak 2009.
BI memberlakukan kebijakan moneter biasa ketat sejak 2013 guna menekan defisit transaksi berjalan yang semakin besar. Juga, menekan ekspektasi lonjakan inflasi setelah kenaikan harga BBM pada Mei 2013.
Defisit transaksi berjalan terus membengkak hingga menembus 4,27% dari PDB pada kuartal II-2014. Defisit membengkak karena lonjakan impor di tengah kencangnya pertumbuhan ekonomi pada 2011-2012.
Sejumlah lembaga bahkan mengingatkan ekonomi Indonesia terancam over heating karena ekonomi terus melonjak di atas 6% pada 2011-2012, ditopang oleh berkah komoditas pada periode sebelumnya.
Bank Indonesia sempat menurunkan BI 25 bps menjadi 7,5% pada Januari 2015. Suku bunga tersebut bertahan hingga 2015. Tingginya suku bunga pada tahun tersebut dikritik banyak pihak.
Pada pertemuan tahunan BI 2015, mantan Wakil Presiden saat itu Jusuf Kalla mengkritik keras keputusan BI yang ogah menurunkan suku bunga BI. Kalla secara tegas meminta BI menurunkan suku bunga demi menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Pasalnya suku bunga yang tinggi membuat likuiditas di pasar semakin ketat dan kredit sulit tumbuh.
Pertumbuhan kredit perbankan emang akhirnya jatuh dari 21,6% pada 2013 kemudian menjadi 10,44% pada 2015 dan anjlok ke 7,87% pada 2016.
Suku bunga acuan kemudian memang terus turun sejalan dengan kebijakan dovish di Amerika Serikat, membaiknya transaksi berjalan, serta puncaknya pandemi Covid-19.
Suku bunga pernah ditahan BI di level terendah sepanjang sejarah yakni 3,5% pada periode Maret 2021 hingga Agustus 2022.
Namun, laju ekonomi di era Jokowi kembali harus bergelut dengan suku bunga tinggi pada tahun lalu.
Kenaikan harga BBM subsidi pada September 2022 serta kebijakan ketat bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve membuat BI mengerek suku bunga hingga 225 bps dalam waktu enam bulan yakni Agustus 2022 hingga Januari 2023.
Kenaikan ini dikhawatirkan akan kembali menekan angka pertumbuhan kredit yang baru pulih setelah pandemi.
Terlebih, pertumbuhan kredit di era Jokowi terbilang rendah yakni rata-rata sebesar 8%. Pada 2006-2013, kredit sempat tumbuh 21,6%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]