CNBC Insight

Cerita Bantuan IMF Selalu Gagal, Justru Buat Negara Bangkrut

News - MFakhriansyah, CNBC Indonesia
01 February 2023 07:00
Logo IMF Foto: CNBC

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejak awal tahun Soeharto pusing tujuh keliling. Dia dan para menteri mendapat tekanan tinggi dari rakyat akibat roda ekonomi yang tak kunjung bergerak.

Paket ekonomi yang dikeluarkan nyatanya gagal. Harga-harga semakin mahal. Dan krisis ekonomi pun tiap hari makin parah hingga membuat keuangan negara berdarah-darah.

Situasi ini membuat Soeharto mengambil jalan terakhir, yakni mendaftarkan Indonesia jadi pasien International Monetary Fund (IMF). Lewat pinjaman IMF niscaya ekonomi negara bakal pulih.

Kamis, 15 Januari 1998 di Cendana, datang Direktur IMF, Michel Camdessus, membawa dokumen Letter of Intent (LoI) untuk ditandatangani Soeharto. Di hadapan awak media, Soeharto terlihat menunduk sembari membubuhkan tanda tangan di dokumen itu.

Sementara Michel, berdiri sambil menyilangkan tangan dengan mata tertuju pada Soeharto. Di mata orang Timur, posisi ini menunjukkan keangkuhan yang seakan memberi makna kalau Indonesia tak berdaya dan telah jatuh ke tangan IMF.

Setelah proses selesai Soeharto melemparkan senyum yang memberi simbol kalau ekonomi negara akan pulih dalam waktu cepat. Dana segar senilai US$ 43 milliar akan datang. 

Boediono dalam Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah (2016) menyebut usai dana itu tiba, Indonesia justru makin terseret lebih dalam ke pusaran krisis ekonomi dan politik, alih-alih mengalami perbaikan. Empat bulan setelahnya krisis mencapai puncaknya.

Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Situasi politik dan ekonomi terjun bebas ke titik terendah. 

Peristiwa di atas hanya studi kasus yang menunjukkan kegagalan program bantuan IMF kepada negara anggota. Kegagalan ini termasuk bagian riset tim peneliti hubungan internasional University of Glasglow, Bernhard Reisberg, dkk yang menunjukkan mayoritas bantuan IMF justru gagal membantu negara.

"Tercatat 371 dari 668 program gagal dijalankan dalam kurun 1980-2009," tulis Benhard dalam riset "Unimplementable by Design? Understanding (non) Compliance with International Monetary Fund Policy Conditionality" (2021).

Belakangan, dia merevisi kembali lewat The Conversation kalau ternyata 512 dari 763 program IMF dalam kurun 1985-2015 telah gagal membawa perbaikan ekonomi. Angkanya lebih besar.

Lantas, mengapa kegagalan itu kerap terjadi?

Sejak berdiri pada Juli 1944, IMF pada dasarnya hadir untuk menjaga ekonomi dunia dari kehancuran. Sekalipun ada negara yang ekonominya hancur, IMF berperan untuk memperbaiki lewat kucuran dana pinjaman.

Jadi, IMF ibarat dokter yang 24 jam siap mengawasi negara "sehat" dan mengobati negara "sakit". Masalahnya, sang dokter tidak memandang semua "pasien"-nya berbeda.

Semua dipukul rata lewat satu penyelesaian yang dilihatnya dari kacamata Barat. Maklum, IMF berisi negara-negara Barat berkekuatan ekonomi besar. 

Peraih nobel ekonomi asal Amerika Serikat, Joseph E. Stiglitz, telah mengkritik IMF ihwal masalah ini lewat artikel berjudul "Failure of the fund: Rethinking the IMF response" (Harvard International, 2001). Katanya, tiap kali ada negara yang berada di kondisi sulit, IMF memberikan paket bantuan ala ekonomi barat berupa liberalisasi, seperti keterbukaan dan privatisasi.

Namun, paket itu tidak semuanya cocok diterapkan di seluruh negara, dan mungkin hanya cocok untuk sebagian kecil negara. Misalkan, kebijakan IMF berhasil diterapkan di Serbia, tetapi gagal di Afghanistan dan beberapa negara Afrika. 

Akibat pemaksaan ini, paket bantuan IMF justru membawa negara peminjam lebih sengsara. Roda ekonominya mandek dan tidak dapat melunasi hutang ke IMF. 

Biasanya, jika terjadi kegagalan IMF akan cuci tangan dan menyebut biang masalahnya adalah kondisi internal negara peminjam itu sendiri. Negara dianggap tidak amanah menjaga uang IMF.

Sejalan dengan itu, riset Benhard, dkk di atas juga memaparkan hal serupa dengan menyebut kegagalan itu didasarkan oleh "unimplementable by design" yang berarti tak dapat diterapkan saat dirancang.

Benhard dan tim merujuk pada syarat pengajuan IMF kepada negara peminjam berupa liberalisasi yang tidak melihat kondisi internal negara. Memang, tim peneliti juga tidak menampik kalau internal negara kadang membuat program gagal.

Namun, itu bukan faktor tunggal. Penyebabnya besarnya justru IMF sendiri yang gagal sejak merancang konsep bantuan.

Untuk mengatasi masalah ini riset Paul R. Masson berjudul "The IMF: Victim of Its Own Success or Institutional Failure?" (2007) mungkin bisa jadi jawaban terbaik.

"Pinjaman IMF harus lebih berjangka pendek dan disertai dengan persyaratan yang lebih sedikit. Representasi negara yang lebih adil dapat membantu meningkatkan reputasi IMF sendiri," katanya.

 


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Kronologi Negara Asia Ini Terancam Bangkrut hingga IMF Bicara


(mfa/sef)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading