
Penyebab Investasi RI Pecah Rekor, Tapi Kemiskinan Tinggi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan ekonom menyoroti masih tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia, di tengah derasnya aliran investasi pada 2022. Bahkan, pemerintah menyebut realisasi investasi sepanjang tahun lalu yang sebesar Rp 1.207,2 triliun tertinggi dalam sejarah republik ini.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), pada September 2022 tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 9,57 persen atau setara 26,36 juta orang jumlah penduduk miskin. Angka itu naik 200.000 orang dari posisi Maret 2022 yang sebanyak 26,16 juta orang miskin, meski turun 140.000 orang dari posisi September 2021 yang sebanyak 26,50 juta orang miskin.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menjelaskan, permaslahan tingkat investasi yang tidak mampu meredam kemiskinan di Tanah Air lebih disebabkan fokus pemerintah untuk menyerap investasi di sektor hilirisasi. Akibanya, investasi yang muncul lebih ke padat modal dan padat teknologi ketimbang padat karya.
"Jadi ketika investasi terjadi serapan tenaga kerja itu relatif lebih sedikit jika dibandingkan dengan 10 tahun silam, ini yang kemudian akhirnya menjadi poin kritik ke investasi itu sendiri," ujar Yusuf saat dihubungi Rabu (25/1/2023).
Oleh sebab itu, ia mengatakan, ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah supaya investasi yang masuk seharusnya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat melalui penciptaan lapangan pekerjaan. Bukan hanya sekedar mengejar target-target investasi yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo.
"Tidak hanya sekedar bagaimana mencapai target investasi yang misalnya tinggi, tetapi juga detil-detil di dalamnya bahwa investasi juga perlu didorong masuk ke sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dalam hal ini industri khususnya yang padat karya," ucap Yusuf.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menambahkan, munculnya kontradiksi antara naiknya investasi dan kemiskinan disebabkan ketimpangan pendapatan yang cukup ekstrem antara kelas atas yang bergerak di sektor komoditas tambang dan perkebunan, dengan masyarakat miskin.
"Selama booming harga CPO misalnya, ekspor naik tajam tapi kelas menengah dan miskin hadapi kelangkaan minyak goreng," ujar Bhima.
Ia menuturkan, selama periode melonjaknya harga-harga komoditas itu, pendapatan para pemilik perusahaannya ikut naik seiring dengan tingginya kinerja ekspor, sehingga daya tarik untuk berinvestasinya ikut tinggi. Tapi, hasil ekspor yang mereka peroleh ditempatkan di negara lain demi imbal hasil yang stabil ketimbang dimasukkan ke instrumen keuangan dalam negeri.
"Orang kaya di sektor komoditas juga paling cerdik dalam menyelamatkan aset dengan menyimpan dana ekspor di luar negeri, atau memasukkan hasil ekspor ke instrumen investasi dengan imbal hasil stabil," ucap dia.
"Meski booming akan berakhir, kekayaan akan dikonservasikan dan di transfer ke generasi penerus. Jadi ada akumulasi kekayaaan dari hasil SDA (Sumber Daya Alam)," tuturnya.
Sementara itu, pada saat masyarakat golongan menengah ke bawah tertekan kondisi ekonomi yang disebabkan naiknya harga barang kebutuhan pokok, termasuk harga BBM, serta kesulitan mencari pekerjaan dan terus munculnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2022 terutama di sektor padat karya, memukul daya beli kelas menengah rentan, sehingga banyak turun jadi orang miskin baru.
Permasalahan itulah yang menurutnya menyebabkan tingkat kemiskinan masih tinggi di tengah aliran investasi deras masuk ke dalam negeri. Maka, solusi untuk meredam tingkat kemiskinan menurut Bhima pemerintah harus tarik pajak lebih banyak dari konglomerasi tambang dan sawit, kemudian hasilnya untuk menambah alokasi bantuan sosal.
"Modelnya bisa lewat windfall tax atau pajak atas kenaikan harga komoditas dan mengenalkan pajak kekayaan plus warisan dengan tarif yang progresif," ujar Bhima.
Sementara lapangan kerja harus didorong melalui peningkatan pembiayaan produktif, pendampingan UMKM hingga meningkatkan rasio wirausaha baru. Inflasi bisa ditekan dengan menurunkan harga BBM subsidi dan kendalikan stabilitas harga pangan. Jika inflasi lebih rendah, ia memastikan orang miskin bisa berkurang.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David Sumual mengungkapkan investasi yang masuk lebih mengarah kepada padat modal, ketimbang padat karya. Tren ini sudah tercipta sejak sepuluh tahun terakhir.
"Di tahun 2000-an hingga 2010, 1% pertumbuhan investasi menghasilkan 250.000 tenaga kerja. Sekarang, 1% mungkin 100.000 tenaga kerja, bahkan kurang," ungkapnya.
Oleh karena itu, dia menilai sektor yang harus didorong investasinya ke depan adalah sektor jasa, contohnya pariwisata, perhotelan, restaurant dan lain sebagainya.
"Sektor ini akan membutuhkan skillfull human," tegas David.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Dia, 5 Sektor di RI yang Paling Diminati Investor