CNBC Insight
Kenapa Pembakaran Alquran Terjadi di Barat? Dari Iran ke 9/11

Jakarta, CNBC Indonesia - Demonstrasi yang terjadi di Stockholm, Swedia, Sabtu (21/1/2023) diwarnai pembakaran salinan Alquran. Ini awalnya merupakan aksi protes terhadap Turki yang 'menyetir' Swedia dalam upaya bergabung dengan North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Seperti diketahui, Swedia bersama Finlandia tahun lalu mendaftar untuk bergabung dengan NATO setelah serangan Rusia ke Ukraina. Dalam aturannya semua negara NATO, 30 anggota termasuk Turki, harus menyetujui tawaran itu.
Namun Turki mengatakan Swedia khususnya harus terlebih dahulu mengambil sikap yang lebih jelas terkait teroris, terutama militan Kurdi dan kelompok yang disalahkan atas upaya kudeta tahun 2016. Ini memicu demo yang berujung dengan dibakarnya simbol keagamaan itu.
Peristiwa ini lantas menambah catatan kelam terhadap "penodaan" Al-quran di dunia barat. Demonstrasi besar pun dilakukan sejumlah negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang mengecam hal tersebut.
Pertanyaannya, mengapa penodaan simbol keagamaan, khususnya terhadap Islam terus terjadi?
Dari Iran ke 9/11
Menurut Marinov & Stockemer dalam "The Spread of Anti‐Islamic Sentiment: A Comparison between the United States and Western Europe" (Politics & Policy, 2020), akar kebencian barat terhadap Islam berakar sejak tahun 1980 ketika Revolusi Islam Iran meletus. Revolusi yang dipimpin Ayatollah Khomeini itu sukses mengusir Amerika Serikat (AS) dari Negeri Para Mullah.
AS yang selangkah lagi menguasai Iran karena sudah memiliki pemimpin boneka bernama Reza Pahlavi jelas marah. Terlebih, pasukan Khomeini berhasil "menghina" AS dengan menduduki dan menyandera Kedutaan Besar AS di Teheran.
Penyanderaan itu berlangsung selama 444 hari atau setahun lebih dengan menawan puluhan orang AS. Dari sinilah api permusuhan muncul, tidak hanya kepada Iran, tetapi juga ke Islam.
Dan kian parah ketika terjadi rentetan aksi terorisme global terhadap dunia Barat oleh aktivis Islam radikal yang berlangsung sampai akhir abad ke-20. Berbagai aksi terorisme ini kemudian berhasil menyudutkan Islam.
Momentum inilah kemudian dijadikan bahan "gorengan" banyak media dan aktivis sayap kanan sebagai ajang penyebaran kebencian terhadap Islam. Penyebaran arus informasi oleh media lantas berhasil membentuk persepsi publik bahwa Islam adalah ancaman.
Puncaknya terjadi setelah peristiwa 9/11. Pasca-peristiwa terorisme terbesar di AS itu, kebencian terhadap Islam semakin luas.
Setelahnya, Islam dipandang sebagai ideologi homogen dan totaliter yang mengancam peradaban Barat. Terlebih mereka juga melihat kalau Islam punya rekam jejak buruk karena banyak negara-negara Islam melakukan praktik penindasan terhadap warganya.
Fakta ini semakin berhasil membentuk opini publik atau generalisasi bahwa Islam secara umum adalah ancaman. Barat takut kalau mereka bakal dikuasai oleh umat Muslim.
"Ideologi Islam radikal dan kekerasan agama yang terkait dengan ekstremis telah muncul sebagai masalah keamanan yang serius bagi banyak negara, termasuk demokrasi liberal Barat. Islam karenanya menjadi pusat perdebatan publik. Kemarahan pada kekerasan Islamis telah memicu kritik publik terhadap Islam yang belum pernah terjadi sebelumnya," tulis Ben Clarke dalam "Freedom of Speech and Criticism of Religion: What are the Limits?" (2017).
Oknum yang melakukan serangan terhadap Islam biasanya mendasarkan pada kebebasan berpendapat. Di bawah panji kebebasan berpendapat itulah mereka bebas berbicara, mengkritik, tanpa adanya larangan.
Namun, saking bebasnya kebebasan itu kerap melewati batasan. Hingga menyinggung bahkan menodai simbol kesucian agama.
"Kritik semacam itu, terkadang, memicu protes yang signifikan dan terkadang memantik kekerasan dari beberapa Muslim. Dalam konteks ini, batas-batas kebebasan berbicara kemungkinan akan tetap menjadi kontroversi. Diskusi tentang batas-batas kebebasan dasar, termasuk kebebasan mengkritik agama, harus dimunculkan kembali. Termasuk juga pertanyaan tentang diperbolehkannya kritik terhadap kesucian agama" tambah Ben Clarke.
Lalu, apakah ada batasan untuk kritik terhadap agama?
Profesor hukum dari University of Windsor, Richard Moon, punya jawaban menarik.
"Menanggapi agama dengan serius, sebagai sesuatu yang penting, berarti melihat klaimnya tentang kebenaran dan hak sebagai hal yang penting dan patut dipertimbangkan. Tetapi itu juga berarti bahwa klaim-klaim ini, baik yang berhubungan dengan masalah spiritual atau kewarganegaraan, harus terbuka untuk dikritik. Namun, karena agama itu penting dan serius pembahasannya bisa jadi intens dan tidak nyaman," katanya.
[Gambas:Video CNBC]
Gereja Ortodoks Rusia Buka Suara Pembakaran Alquran di Swedia
(mfa/sef)