Ramai BPJS Kesehatan Orang Kaya, Hapus Kelas & Iuran Baru
Jakarta, CNBC Indonesia - Program asuransi nasional Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang berdiri sejak 2014, telah meringankan banyak masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan.
Banyak desas-desus yang muncul ke permukaan di dalam tata kelola Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini. Mulai dari kas lembaga yang selalu defisit, pemisahan tarif orang kaya dan miskin, hingga penghapusan kelas 1, 2, dan 3 menjadi kelas standar.
Untuk pertama kalinya sejak berdiri, arus kas BPJS Kesehatan dinyatakan tidak defisit. Tercermin dari kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) yang positif hingga 31 Desember 2021.
Aset bersih BPJS Kesehatan tercatat sebesar Rp 38,7 triliun. Angka ini tergolong sehat, karena mampu memenuhi pembayaran klaim hingga 5,15 bulan ke depan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2015, aset DJS dikatakan sehat jika mencukupi estimasi pembayaran klaim untuk sedikitnya 1,5 bulan ke depan, atau paling banyak enam bulan ke depan.
Kondisi surplus ini baru pertama kali dialami BPJS Kesehatan sejak beroperasi pada tahun 2014. Sebelumnya, aset neto BPJS Kesehatan pada 2019 defisit Rp 51 triliun. Sementara pada 2020, aset neto pada 2020 defisit Rp 5,69 triliun.
BPJS Kesehatan mengungkapkan membaiknya kondisi keuangan lembaganya itu karena rendahnya angka kunjungan peserta BPJS Kesehatan ke rumah sakit selama pandemi Covid-19. Serta adanya penyesuaian iuran pada 2020 dan perluasan kanal pembayaran iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Sepanjang tahun ini, BPJS Kesehatan juga mengungkapkan, telah banyak masyarakat rentan atau miskin yang menggunakan fasilitas kesehatannya dibandingkan dengan masyarakat kaya atau konglomerat.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti saat melakukan rapat kerja dengan Komisi IX DPR pada 7 Desember 2022.
"Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) memakainya lebih banyak, termasuk operasi jantung," jelas Ali dikutip Rabu (28/12/2022).
Pernyataan Ali sekaligus menepis pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyebut orang kaya lebih banyak menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan dan menjadi beban negara.
Ali tak menampik, kemungkinan memang ada masyarakat mampu yang menggunakan layanan BPJS Kesehatan.
Karena awal mula ada, fasilitas asuransi pemerintah ini dianggap tidak memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat miskin. Sehingga hanya sedikit masyarakat rentan dan miskin yang menggunakannya.
Kendati demikian, dalam dua tahun terakhir justru porsi masyarakat rentan dan miskin yang banyak memanfaatkan fasilitas BPJS Kesehatan ini, yakni sebanyak 31,93 juta untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI).
Dalam periode 2021-2022 anggaran yang digelontorkan untuk peserta PBI oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp 27 triliun.
Sementara itu, untuk data penerima dari pekerja penerima upah (PPU) ada 28,36 juta kasus dengan total biaya Rp 24,1 triliun, pekerja bukan penerima upah (PBPU) ada sekitar 26 juta kasus dengan biaya Rp 20 triliun, dan bukan pekerja ada sekitar 8 juta kasus dengan biaya Rp 5,95 triliun.
"Jadi kesadaran masyarakat tidak mampu itu jauh lebih bagus. Jadi PBI itu intinya banyak yang mulai sadar dan memanfaatkan haknya. Kalau dulu banyak orang jual rumah, jual ini untuk biaya kesehatan, sekarang sudah jarang (jual) untuk bayar sakit," jelas Ali.
Adapun untuk anggaran 2023, Ali menyebut dari total anggaran Rp 143 triliun, 31,5% persen atau sebesar Rp 45 triliun akan dialokasikan untuk peserta PBI BPJS Kesehatan.
Sebelumnya, saat rapat dengan Komisi IX DPR pada 22 November 2022, Menkes Budi Gunadi Sadikin menaruh curiga terhadap 1.000 peserta BPJS Kesehatan, yang disinyalir mereka adalah orang kaya alias kaum konglomerat.
Menurut Budi, sebanyak 1.000 peserta konglomerat BPJS Kesehatan itu memiliki konsumsi listrik yang besar, hingga di atas 6.600 VA. Yang kemudian dia nilai sebagai kategori masyarakat mampu alias kaya raya.
"Saya mau tarik datanya, saya mau lihat itu PLN-nya besarnya berapa. Kalau VA-nya di atas 6.600, yang pasti itu adalah orang yang salah," jelas Budi.
Budi juga berencana untuk mengecek limit kartu kredit dari 1.000 peserta tersebut. Jika peserta memiliki dana di kartu kredit mencapai ratusan juta, kata Budi, mereka bukan sasaran BPJS Kesehatan.
"Lihat limit kartu kreditnya berapa, kalau dia gak punya ya benar (dia orang tidak mampu), (kalau) tahu-tahu kartu kreditnya Rp 100 juta, itu orang yang gak tepat kami bayarin," ujarnya.
(cap/cap)