Jokowi Cs Jungkir Balik Tahan Dolar Eksportir di Dalam Negeri

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
23 December 2022 09:15
Presiden Joko Widodo Memberikan Keterangan Pers Presiden Joko Widodo, Istana Merdeka, 21 Desember 2022. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Joko Widodo Memberikan Keterangan Pers Presiden Joko Widodo, Istana Merdeka, 21 Desember 2022. (Tangkapan Layar Youtube Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hobi eksportir simpan dolar di luar negeri bukan perkara baru. Alih-alih membawa pulang dolar dan menyimpan di bank lokal, eksportir memilih menyimpan di bank luar negeri. Berbagai alasan diutarakan mulai kepraktisan, stabilitas kurs hingga keuntungan spread bunga.

Presiden Joko Widodo sendiri tampaknya sudah gerah dengan hal ini. Pasalnya, surplus neraca perdagangan hingga 31 bulan beruntun tidak membuahkan cadangan devisa yang solid. Padahal, pundi-pundi eksportir tersebut bisa membantu memperkuat ketahanan eksternal Indonesia dalam menghadapi guncangan tahun depan.

Tak hanya itu, dolar yang disimpan dalam cadangan devisa ini juga dapat memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah.

Melihat fenomena ini, Jokowi meminta Bank Indonesia (BI) segera membuat kebijakan yang dapat menahan dolar hasil ekspor di dalam negeri. Dengan demikian, artinya, setiap devisa hasil ekspor (DHE) dalam bentuk dolar harus ditahan di dalam negeri untuk beberapa waktu.

Keinginan tersebut kemudian disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai Sidang Kabinet Paripurna, Kantor Presiden, beberapa waktu lalu.

"Tentunya dari BI bisa buat sebuah mekanisme sehingga ada periode tertentu cadangan devisa yang bisa disimpan dan diamankan di dalam negeri," kata Airlangga, dikutip Jumat (23/12/2022).

Adapun, pemberlakuan sanksi oleh Bank Indonesia dan pemerintah terkait dengan sanksi tidak mempan. Pasalnya, devisa yang masuk hanya bertahan selama satu bulan setelah pencatatan. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak menganut kontrol devisa seperti negara lain, Thailand dan Malaysia yang memiliki kebijakan menahan devisa ekspor di dalam negeri hingga 3-6 bulan.

Dihadapkan dengan dilema ini, Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan tengah menyiapkan sistem yang akan mengintegrasikan pengawasan transaksi Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Kasubdit Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Vita Budhi Sulistyo berharap sistem tersebut sudah tercipta pada tahun depan.

"Kita mengupayakan agar bisa cepat. Di level pimpinan sudah sepakat. Paling lambat 2023. Kami masih mendiskusikan dengan BI sistemnya seperti apa. Bagaimana dua sistem (di DJBC dan BI) saling terintegrasi," tutur Vita, saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (20/12/22).

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019, pengawasan pelaksanaan atas kegiatan ekspor barang dilakukan DJBC. Pengawasan pelaksanaan atas kewajiban pemasukan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia dilakukan oleh BI.

Vita menambahkan kerja sama antara DJBC dan BI saat ini terbatas pada kerja sama pertukaran data. DJBC akan menerima data dari BI mengenai eksportir yang belum melaporkan DHE kemudian DJBC akan menerbitkan surat tagihan.

Jika surat tagihan tidak dilanjuti maka sanksi akan dilanjutkan sampai pada pencabutan izin ekspor.

"Kami masih mendiskusikan dengan BI sistemnya seperti apa dan bagaimana sistem ini saling terintegrasi karena sistem core nya beda, Mesinnya beda. Masih perlu pendekatan dari tim IT dua lembaga ini," imbuh Vita.

Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat kontainer di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (4/3/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)Foto: Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat kontainer di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (4/3/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat kontainer di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (4/3/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Sistem yang terintegrasi diharapkan mempermudah tugas DJBC terutama dalam memberi penjelasan kepada eksportir mengenai alasan pengenaan sanksi kepada eksportir.

Tidak hanya itu, pemerintah juga berupaya menyelipkan aturan lalu lintas devisa, termasuk pengelolaan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di dalam negeri di dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang kini telah sah menjadi undang-undang.

Dalam beleid ini, pengelolaan lalu lintas devisa dan cadangan devisa harus di bawah kewenangan Bank Indonesia (BI).

Kemudian, pemerintah dan DPR juga sepakat untuk mengikutsertakan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk dapat menerima devisa hasil ekspor (DHE). Dijelaskan Pada BAB 22 tentang LPEI, Pasal 16. Di mana dalam melakukan kegiatannya, LPEI turut serta dalam sistem pembayaran nasional dan internasional.

"LPEI dapat menerima devisa hasil ekspor atas transaksi ekspor debitur LPEI dan masuk ke dalam sistem keuangan Indonesia," tulis Pasal 16 ayat (2).

Kemudian, devisa hasil ekspor sebagaimana dimaksud ditampung dalam rekening debitur di LPEI. Adapun kegiatan penerimaan devisa hasil ekspor oleh LPEI tidak dimaksudkan untuk penghimpunan dana.

Pada konferensi pers RDG, Kamis (23/12/2022), BI juga membeberkan amunisi baru untuk mencegah Devisa Hasil Ekspor (DHE) lari ke luar negeri.
BI akan menerbitkan instrumen operasi moneter (OM) valas yang baru untuk mendorong penempatan DH, khususnya dari ekspor Sumber Daya Alam (SDA).

"Instrumen OM Valas tersebut dilakukan dengan imbal hasil yang kompetitif berdasarkan mekanisme pasar yang transparan disertai dengan pemberian insentif kepada bank," tutur Perry.

Dalam skema tersebut, BI akan menawarkan term deposit valas melalui lelang yang lebih tinggi dibandingkan bank negara lain. Perry mencontohkan jika rata-rata bunga deposit valas negara lain ada di angka 3,75% maka BI akan menawarkan bunga di kisara 3,75-4,0% melalui lelang.

"Tergantung kondisi akan bergerak dari waktu ke waktu karena mekanisme pasar sesuai perkembangan yang ada dengan suku bunga dan daya tarik eksportir untuk ini," ujar Perry.

Para Eksportir 'Ngeles'

Dari hasil perbincangan dengan para pengusaha, DJBC mengungkapkan persoalan DHE yang kerap terjadi, sosialisasi yang disampaikan otoritas diwakili/diterima oleh pihak yang menganggap sosialisasi DJBC dan BI hanya angin lalu, sehingga diabaikan begitu saja.

"Sehingga ada perdebatan, perusahaan bilang 'lah kami belum pernah disosialisasikan'. Padahal sudah, karena (perwakilan yang mendapatkan/ikut sosialisasi) menganggapnya itu sosialisasi bersama," jelas Vita saat ditemui di kantornya, dikutip Kamis (22/12/2022).

Selain itu, ada juga persoalan perusahaan, di mana yang bertanggung jawab dalam melakukan pemindahan DHE SDA ke dalam negeri sudah tidak bekerja di perusahaan tersebut. Sehingga, perusahaan tidak sadar bahwa mereka belum melakukan pemindahan.

Vita bilang, tidak mungkin perusahaan dengan sengaja tidak melakukan pemindahan DHE SDA-nya ke dalam negeri, karena mereka tahu konsekuensinya. Mereka bisa kena denda administratif, tidak bisa melakukan ekspor, atau bahkan bisa dicabut izin usahanya.

"Karena kalau dia sengaja, kan dia tau sanksinya. Dan ini sangat buruk buat dia, bukan hanya reputasi, eksportir juga punya kontrak dengan negara lain," ujarnya. Sehingga biaya yang harus dikeluarkan eksportir bisa membengkak.

DJBC mencatat, hingga saat ini terdapat sekira 13.000 eksportir yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sejak 2021 hingga 2022, terdapat 216 eksportir yang harus membayar denda administratif.

Ke-216 eksportir tersebut dikenai denda administratif dengan jenis pelanggaran tidak menempatkan DHE di rekening khusus. Mereka harus membayar denda administratif dengan perhitungan 0,5% dari DHE yang belum ditempatkan di dalam negeri.

Nilai sanksi dari 216 eksportir yang melanggar DHE SDA tersebut sebesar Rp 53 miliar. Alokasi ini langsung tercatat dalam APBN sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Kendati demikian, dari 216 eksportir yang kena sanksi DHE SDA tersebut, DJBC tidak tahu persis berapa yang sudah membayarkan dendanya kepada negara.

DJBC pun tidak bisa mengetahui seberapa besar kepatuhan eksportir dalam melaporkan DHE sejalan dengan besarnya DHE yang masuk ke bank dalam negeri.
Pasalnya, hanya Bank Indonesia yang mengetahui lalu lintas DHE. Sesuai peraturan, DHE juga tidak diwajibkan untuk mengendap dalam periode tertentu.

Sebelumnya, Direktur Teknis Kepabeanan DJBC, R. Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan banyak dari pendapatan dari ekspor yang disimpan di Singapura. Faktor bunga deposito yang lebih besar menjadi daya tarik bagi eksportir untuk menaruh DHE di Singapura.

"Memang kalau kita perhatikan dalam fenomena terakhir tidak bisa dipungkiri ada pendapatan dari hasil ekspor yang disimpan di bank-bank Singapura," tutur Fadjar dalam Power Lunch, CNBC Indonesia, pekan lalu.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Desak BI Tahan Dolar Eksportir, Cadangan Devisa Seret?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular