
Jokowi Desak BI Tahan Dolar Eksportir, Cadangan Devisa Seret?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perintah mengejutkan datang dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Orang nomor satu di negeri ini meminta Bank Indonesia (BI) meramu kebijakan yang dapat menahan dolar hasil ekspor di dalam negeri.
Hal ini dilakukan dalam rangka memperkuat posisi cadangan devisa. Perintah Jokowi ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai Sidang Kabinet Paripurna, Kantor Presiden, Selasa (6/12/2022).
Airlangga menuturkan Presiden berharap BI bisa membuat sebuah mekanisme periode waktu tertentu agar devisa hasil ekspor bisa bertahan di bank dalam negeri.
"Bapak presiden mengarahkan agar hasil ekspor itu dimasukkan di dalam negeri. Bank Indonesia diharapkan bisa membuat sebuah mekanisme," ungkapnya.
Airlangga menegaskan kebijakan ini akan menjadi peluru yang diperkuat dengan ekosistem keuangan yang berbasis ke devisa asing. Langkah ini sendiri ditenggarai oleh kondisi pelemahan rupiah di dalam negeri seiring dengan ketatnya likuiditas dolar AS.
BI sendiri telah menyempurnakan ketentuan yang mengatur mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE) dan Devisa Pembayaran Impor (DPI) dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/21/PBI/2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019 tentang hal yang sama.
Aturan ini diberlakukan pada awal tahun 2021, tetapi harus direlaksasi akibat kondisi Covid-19 yang menghantam negeri ini.
Pada September lalu, Pemerintah dan BI telah sepakat menegakkan kembali memberlakukan sanksi untuk eksportir yang tidak menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri. Pencabutan relaksasi ini dilakukan lebih awal dari rencana semula, akhir 2022.
![]() Ilustrasi dolar Amerika Serikat (USD). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki) |
Pemberlakukan kembali aturan ini dilakukan di tengah gejolak nilai tukar dan cadangan devisa yang mulai terkuras.
Sayangnya, ketentuan ini tidak sepenuhnya dengan tegas membuat eksportir menahan dolarnya di Tanah Air untuk periode tertentu. Bahkan, eksportir enggan menukarkan dolarnya ke dalam rupiah, melihat fenomena penguatan dolar AS.
Sementara itu, perebutan dolar di dalam negeri cukup ketat. Akhir November lalu, ketika rupiah kembali terputuk, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Edi Susianto mengungkapkan bahwa pada akhir tahun ada peningkatan permintaan akan dolar AS.
"Ada siklus peningkatan genuine demand valas, termasuk dari salah satu perusahaan BUMN besar," paparnya kepada CNBC Indonesia.
Dengan kondisi ini, cadangan devisa terus tergerus seiring dengan upaya bank sentral menjaga stabilitas rupiah. BI sendiri bahkan telah menghabiskan cadangan devisa hingga US$ 9,8 miliar atau Rp 153,86 triliun (asumsi kurs Rp 15.700/US$) untuk memperkuat rupiah melawan 'strong dollar'.
Padahal, cadangan devisa BI sempat mencapai US$ 141,1 miliar per Februari 2022, sebelum akhirnya turun hingga US$ 130,2 miliar per Oktober 2022.
Seharusnya, kondisi ini tidak terjadi mengingat posisi ekspor Indonesia yang kuat dalam dua tahun terakhir. Neraca perdagangan Indonesia telah mencetak rekor 30 bulan surplus berturut-turut.
Badan Pusat Statistik (BPS) bahkan mencatat surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 mencapai US$ 5,67 miliar. Ekspor Indonesia pada Oktober 2022 tumbuh 12,30% (year on year/yoy) menjadi US$ 24,81 miliar. Dibandingkan bulan sebelumnya ada kenaikan sebesar 0,13%.
Lantas, kemana hasil surplus 30 bulan beruntun menguap?
Pengusaha bidang eksportir Tanah Air mengaku lebih memilih menyimpan dolar hasil ekspor di luar negeri dikarenakan kurang kompetitif bunga deposito valas di Indonesia.
Menurut pengusaha, bunga menyimpan uang valas di dalam negeri tidak sebesar negara tetangga. Hal ini bisa menjadi indikasi faktor bahwa banyak orang lebih memilih untuk menyimpan dana hasil ekspor di Singapura.
"Menyimpan USD di dalam negeri (deposito) bunga nya lebih kecil di banding menyimpan USD di Singapore (saat ini)," kata ketua umum (ketum) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Soetrisno kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (7/12/2022).
Tak bisa dipungkiri banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena penguatan dolar AS. Semakin banyak dolar hasil ekspor disimpan di luar negeri, maka mengganggu stabilitas rupiah.
Hal ini dikarenakan bank di Negeri Jiran tersebut menawarkan lebih dari 3% setahun untuk dolar AS yang ditempatkan di deposito berjangka. Jauh lebih tinggi dibandingkan di dalam negeri yang hanya rata-rata 0,38%.
"Karena bunga untuk deposito USD di Singapore lebih tinggi dibanding bunga di dalam negeri," kata Benny.
Dari penelusuran CNBC Indonesia, berikut besaran deposito valas dalam dolar AS di Singapura:
1. Standard Chartered mulai dari 3,8% (12 bulan)
2. HSBC 4,4%-4,5% (12 bulan)
3. DBS 4,6%-4,9% (12 bulan)
4. POSB hingga 4,55% (12 bulan)
5. OCBC 4,36%-4,61% (12 bulan)
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Melemah, Cadangan Devisa RI Apa Kabar?
