Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2019-2022
Berdasarkan hasil Survei KSA, Total produksi padi di Indonesia pada 2019 sekitar 54,60 juta ton gabah kering giling atau GKG, produksi padi tersebut mengalami penurunan sebanyak 4,60 juta ton atau 7,76 persen dibandingkan tahun 2018.
Jika melihat data tahun 2021, luas panen padi mencapai sekitar 10,41 juta hektar atau mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu hektar (2,30 persen) dibandingkan tahun 2020. Sementara itu, produksi padi tahun 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG.
Sementara, jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras tahun 2021 mencapai sekitar 31,36 juta ton, atau turun sebesar 140,73 ribu ton (0,45 persen) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2020.
Untuk tahun 2022, Produksi padi pada 2022 diperkirakan sebesar 55,67 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebesar 1,25 juta ton GKG atau 2,31% dibandingkan produksi padi di 2021 yang sekitar 54,42 juta ton GKG.
Produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 32,07 juta ton, mengalami peningkatan sebanyak 718,03 ribu ton atau 2,29% dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 31,36 juta ton.
Misteri Stok Cadangan Beras di Bulog
Oktober 2022 lalu, rakyat sempat dikejutkan oleh informasi mengenai data stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Perum Bulog yang tercatat terus menipis. Jika dibandingkan pada Oktober 2021 lalu stok CBP Bulog yang mencapai 1,25 juta ton, maka stok in hand pada 2022 ini paling kecil.
Perum Bulog hanya memiliki stok sebanyak 295.337 ton (59,76%) beras cadangan pemerintah (CBP) dan sebanyak 198.865 (40,24%) beras komersial. Jauh dari target pemerintah 1,2 juta ton di akhir tahun 2022.
Tingkat penyerapan Bulog tahun ini memang teramat rendah. Padahal, dari survei AB2TI, ada 4 bulan di mana harga jual petani lebih rendah dari harga pembelian pemerintah (HPP) yaitu pada Maret, April, dan Mei, di mana HPP berlaku adalah Rp8.300 per kg beras dan Rp4.200 per kg gabah kering panen (GKP).
Dengan ini, pada akhirnya pemerintah memutuskan menugaskan Bulog melakukan pengadaan beras dari luar negeri. Yang rencananya untuk pemasukan bulan Desember 2022 sebanyak 200 ribu ton.
Ini tentunya menjadi pertanyaan dari berbagai pihak. Salah satunya tentunya karena pemerintah, di mana Bulog sendiri kesulitan menyalurkan beras.
Kalau dahulu, ada rastra/raskin (beras sejahtera/ beras miskin) dan ada pula program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) juga tak lagi melalui Bulog. Ini diperkirakan menjadi salah satu penyebab Bulog tak lagi menyerap seperti biasa.
Baca Halaman Selanjutnya >>> Negeri Agraris yang Hobi Impor Beras, Kenapa?
Impor Beras Indonesia
Rencana pemerintah Indonesia impor satu ton beras menuai kontroversi. Padahal, hal ini bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia.
Berdasarkan catatan sejarah, impor beras terjadi kali pertama pada era pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1910. Kala itu Indonesia mengalami paceklik yang membuat pemerintah Belanda mengimpor beras dari Burma, India, dan China.
Selanjutnya Indonesia sempat melakukan impor beras pada era Orde Baru sekitar tahun 1969. Pada 1980 Indonesia tercatat mengimpor sebesar 2,02 juta ton beras dari luar negeri.
Sampai akhirnya pada 1985 dan 1986 impor beras dalam negeri tercatat nihil. Pada tahun sebelumnya yakni 1984 Indonesia mencapai swasembada pangan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor beras sebanyak 301,7 ribu ton pada periode Januari-Oktober 2022. Jumlah tersebut susut 20,4 juta ton (6,34%) dibanding Januari-Oktober 2021.
Kemudian nilai impor beras nasional periode Januari-Oktober 2022 mencapai US$137,42 juta, turun 5% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Pertanyaan yang sering kali mengemuka adalah mengapa Indonesia harus impor beras jika disebut sebagai negara agraris?
Seperti diketahui, Indonesia disebut sebagai negara agraris karena memiliki lahan pertanian yang diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Namun, ternyata hal itu tidak bisa membuat negara ini berhenti mengimpor beras.
Berdasarkan data BPS dari 2000 hingga 2019 tercatat bahwa Indonesia selalu impor beras. Dalam rentang waktu tersebut, pemerintah paling banyak mengimpor beras pada tahun 2018 yakni hingga mencapai 2.253.824,5 ton atau setara US$ 1,03 miliar.
Kemudian tahun ini impor beras menyeruak karena stok beras bulog yang digadang terus menipis. Rencana a impor beras umum untuk mengisi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang akan dilakukan Perum Bulog hingga 200 ribu ton terus menuai polemik dan ironi.
Padahal empat bulan lalu Indonesia dianggap sebagai negara yang swasembada beras.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) memberikan penghargaan kepada pemerintah Indonesia karena dianggap swasembada beras.
Selama tiga tahun berturut-turut, sejak 2019 hingga 2021, Indonesia disebut bisa konsisten memproduksi beras sebanyak 31,3 juta ton.
Namun nyatanya tak bisa dipertahankan oleh Indonesia. cadangan beras pemerintah semakin menipis, oleh karena itu Bulog berencana melakukan impor beras untuk mengisi CBP.
Impor dibutuhkan untuk menambah stok beras untuk cadangan pemerintah, di sisi lain perlu juga melakukan intervensi harga terutama di saat harga melonjak maupun kondisi darurat seperti bencana alam.
Dalam catatan CNBC Indonesia, dalam hitungan hari beras impor akan masuk ke Indonesia. Ini adalah bagian dari 200 ribu ton izin beras yang dikeluarkan pemerintah untuk jadwal pemasukan sampai akhir tahun 2022.
Namun muncul lagi pertanyaan, Salah satu fungsi CBP untuk intervensi harga ketika harga naik tinggi. Lah harga naik tinggi kan di Desember-Januari tapi beras impornya belum ada, bagaimana pemerintah bisa mengintervensi?
Keputusan impor dinilai sudah terlambat. Sebab, impor beras ini perlu proses masih harus melakukan perjanjian dengan pihak eksportir di negara bersangkutan, mencari logistik dan bahkan masa pengiriman bisa berlangsung 2-3 minggu ke Indonesia.
Sementara akhir Januari- Februari diperkirakan akan panen raya. Maka yang dinilai akan dirugikan tentu petani, masuknya beras impor akan menekan harga di tingkat usaha tani.
TIM RISET CNBC INDONESIA