CNBC Indonesia Research

Tanda Bahaya 'Kiamat' Australia, Dunia Terancam Kelaparan

Tim Riset, CNBC Indonesia
19 October 2022 19:00
Krisis Ada Di Depan maya! Negara-Negara Dunia Mulai Pelit Jualan Pangan
Foto: Ilustrasi (Photo by TymurKhakimov via pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia saat ini sedang kacau balau, ekonomi dibayangi potensi resesi dan perang masih memanas. Namun, dunia juga harus dihadapkan dengan kelangkaan pangan yang kini sudah menjalar ke beberapa negara maju seperti Australia yang menjadi 'korban' terbaru dari krisis tersebut.

Perubahan cuaca merupakan pemicu utama krisis pangan, tapi kemudian turut diperparah oleh pandemi Covid-19. Ketika permasalahan tersebut belum usai, situasi kian dramatis dengan terjadinya perang Rusia-Ukraina yang mencuat pada awal tahun ini, yang membuat harga bahan pangan menjadi mahal.

Selain itu, harga minyak dan gas yang melesat turut mempengaruhi harga pupuk yang akhirnya juga meningkatkan biaya panen dan produksi.

Melansir data dari United Nations Food and Agriculture Organization (FAO) bahwa indeks harga pangan dunia telah meningkat sejak 2018 hingga tahun ini. Kenaikan indeks harga pangan juga mendorong angka kelaparan dan kekurangan gizi hingga menyentuh lebih dari 828 juta orang di seluruh dunia.

IMF,FAOSumber: IMF,FAO

United States Department of Agriculture (USDA) pada 12 September 2022 memberikan proyeksinya mengenai persediaan pangan dunia mulai dari jagung, gandum, beras, hingga kedelai.

Keempat komoditas tersebut merupakan sumber karbohidrat tinggi dan menjadi dasar menu makanan di seluruh dunia. Sehingga ketersediaannya kerap menjadi fokus utama dan tentunya akan mempengaruhi harga pangan dunia ke depannya.

Namun, dari keempat komoditas utama tersebut, hanya gandum yang diproyeksikan ketersediaannya meningkat. Sedangkan jagung, gandum, dan beras diprediksikan akan mengalami penurunan stok pada periode 2022/2023.

Jagung

Persediaan jagung global pada 2022/2023 diproyeksikan akan turun sebesar 2,2 juta ton menjadi 304,5 juta ton karena penurunan produksi dari Ukraina, Uni Eropa dan Thailand.

Meskipun, produksi jagung dari China, Ukraina, Kanada, dan Mozambik meningkat, tapi belum dapat mengimbangi produksi yang berkurang.

Gandum

Pasokan gandum global pada 2022/2023 diperkirakan akan naik 3,6 juta ton menjadi 1.059,6 juta ton, seiring dengan peningkatakan produksi dari Rusia dan Ukraina.

Produksi gandum dari Rusia pada periode 2022/2023 diperkirakan akan naik menjadi 91 juta ton pada hasil panen untuk gandum musim dingin. Sedangkan, produksi dari Ukraina diproyeksi meningkat 1 juta ton menjadi 20,5 juta.

Namun, pasokan global yang lebih banyak, meningkatkan konsumsi global menjadi 2,4 juta ton menjadi 791 juta ton.

Meski begitu, persediaan akhir global periode 2022/2023 diprediksikan masih akan meningkat 1,2 juta ton menjadi 268,6 juta ton.

Beras

Prospek global 2022/2023 untuk pasokan beras diproyeksi akan lebih rendah karena konsumsi yang lebih tinggi dan persediaan yang berkurang. Pasokan diproyeksi akan berkurang 4,4 juta ton menjadi 692,9 juta karena penurunan produksi dari China, India, dan Pakistan.

Produksi di China berkurang 2 juta ton menjadi hanya 147 juta karena kondisi kekeringan di China Selatan. Sementara produksi India berkurang 2 juta ton menjadi 126,5 juta dipicu oleh kekeringan di wilayah timur laut. Penurunan produksi tersebut akan menjadi penurunan produksi beras pertama bagi India sejak 2015/2016.

Produksi di Pakistan turun 500.000 ton menjadi 8,4 juta karena mengalami banjir pada Agustus 2022 dan menurunkan produksi beras.

Di sisi lain, konsumsi dunia pada 2022/2023 meningkat 0,6 juta ton ke rekor 519,3 juta ton. Proyeksi persediaan akhir global pada 2022/2023 akan berkurang 5 juta ton menjadi hanya 173,6 juta ton.

Kedelai

Stok akhir kedelai global 2022/2023 diperkirakan sebanyak 98,9 juta ton, turun 2,5 juta ton karena produksi yang lebih rendah dari Amerika Serikat (AS) dan persediaan yang rendah di China.

 

Kelangkaan pangan dunia kian nyata, bahkan banyak negara di dunia telah merasakannya. Tidak terkecuali negara-negara maju, seperti Eropa dan Australia.

Eropa

Seperti diketahui, gandum adalah bahan baku untuk pembuatan roti. Roti merupakan pilar utama makanan untuk jutaan warga di Benua Biru. Pasca perang Rusia-Ukraina yang menghambat pasokan gandum dunia, membuat harga roti pun melesat.

Badan Statistik Uni Eropa (UE), Eurostat, mencatat bahwa harga roti di bulan Agustus 2022 18% lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama pada tahun sebelumnya. Eurostat mengatakan harga roti Benua itu berada di level tertinggi.

"Mereka rata-rata 18% lebih tinggi pada bulan Agustus dibandingkan tahun sebelumnya. Pada bulan Agustus tahun lalu, rata-rata kenaikan harga roti di UE hanya sebesar 3%," tulis lembaga itu dikutip Euronews, Minggu (25/9/2022).

Dari sejumlah negara, Hungaria merupakan negara dengan kenaikan paling tinggi. Roti di Negeri Goulash itu tercatat telah mengalami kenaikan hingga 65,5% sepanjang tahun.

Di sisi lain, Prancis mengalami pertumbuhan harga paling lambat. Dalam setahun, Negeri Baguette itu mengalami peningkatan hingga 8,2%.

Kenaikan ini telah membawa ketakutan baru bagi perekonomian. Pasalnya, Benua itu juga dilanda inflasi dan sulit menemukan pengganti roti dan produk gandum lainnya.

Sementara itu, roti bukan satu-satunya produk yang mengalami kenaikan harga yang tajam. Harga gabungan roti dan sereal telah meningkat 16,6% di Zona Euro, kenaikan tertinggi sejak Januari 1997.

Selain itu, makanan dan minuman mengalami peningkatan sebesar 12,4%. Untuk perumahan dan listrik, terjadi lonjakan harga hingga 19,7% dalam setahun.

Bahkan, inflasi zona Eropa pada September 2022 kembali melejit ke angka 10% secara tahunan (year-on-year/yoy), naik dari inflasi bulan sebelumnya sebesar 9,1% yoy. Angka inflasi tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah.

Tingginya tingkat inflasi tersebut disebabkan oleh kenaikan harga energi yang tetap tinggi, mencapai 38,3% dan kenaikan harga pangan sebesar 10,6%. Selain itu, harga jasa juga naik 3,8% dan barang industri non-energi naik sebesar 5%.

Australia

Selain, komoditas pangan utama di atas, kentang juga terancam ketersediaannya. Bahkan, negara maju seperti Australia sedang mengalami kelangkaan kentang.

Teranyar, mengutip News.com pada Selasa (18/10/2022) Australia dilanda krisis kentang karena gagal panen akibat curah hujan yang tinggi. Akibatnya, sejumlah restoran dan pub sulit mendapatkan bahan baku untuk membuat kentang goreng.

Tidak hanya itu, kelangkaan keripik kentang juga terjadi di supermarket. Beberapa merek kentang di Australia seperti Smith's, Twisties, Sunbites, Burger Rings, dan Tasty Toobs menjadi sulit ditemui di supermarket ternama seperti Coles, Woolworths dan Aldi.

Persediaan kentang yang berkurang, membuat harganya pun melonjak sehingga konsumen harus membayar lebih mahal.

Menurut laporan terbaru Foodbank, Negeri Kanguru tersebut masuk ke dalam daftar negara yang berpotensi besar akan mengalami krisis pangan akibat melonjaknya inflasi dan bencana alam. Foodbank memproyeksikan sebanyak 500.000 rumah tangga akan sulit mendapat bahan makanan dan menyebabkan nutrisi masyarakat akan terganggu.

Kepala eksekutif Foodbank, Brianna Casey, mengatakan situasinya merupakan yang terburuk selama enam tahun bekerja di lembaga itu.

"Saya belum pernah melihat sesuatu seperti yang kita lihat sekarang. Ini akan mengejutkan banyak orang bahwa kita melihat tingkat kerawanan pangan yang lebih buruk daripada puncak pandemi ... Orang-orang telah keluar dari pandemi dalam banyak kasus dalam posisi yang lebih rentan daripada saat mereka masuk," ujarnya.

Foodbank sendiri menjelaskan bahwa di antara mereka yang mengalami kerawanan pangan, 64% menyebutkan ini akibat dari kenaikan atau biaya hidup yang tinggi dan 42% menunjuk pada 'penghasilan rendah atau tunjangan pemerintah yang berkurang' sebagai penyebab utama.

Selain itu, banjir di Pantai Timur Australia yang terjadi pada periode Maret dan Juli 2022, kian menambah tekanan karena menghancurkan tanaman, sehingga mendorong lonjakan harga makanan.

Temuan Foodbank ini juga didasarkan pada survei perwakilan nasional yang dilakukan pada Juli lalu tentang kerawanan pangan di Australia. Hasilnya juga menyebutkan krisis kali ini lebih parah daripada penelitian sebelumnya.

"Laporan itu mengatakan 21% orang Australia, atau lebih dari 2 juta orang,telah mengalami kerawanan pangan yang parah dalam 12 bulan terakhir. Itu naik dari 17% pada laporan 2021," sebagaimana ditulis oleh Guardian.

Saat ini warga Australia setidaknya harus mencari bantuan dari badan amal setempat untuk mendapatkan pasokan makanan. Setidaknya mereka juga harus mengeluarkan 100 dolar Australia (Rp 966 ribu) hingga 150 dolar Australia (Rp 1,45 juta) hanya untuk membeli beberapa tas belanjaan di supermarket Woolies.

Proyeksi berkurangnya ketersediaan komoditas pangan utama dunia, kian meningkatkan potensi kelangkaan pangan dan tentunya dapat mendorong angka inflasi dunia kembali melonjak.

Berbagai lembaga keuangan kompak mengalokasikan anggaran khusus untuk negara-negara yang mengalami kesulitan. World Bank atau Bank Dunia telah menyiapkan anggaran senilai US$ 30 miliar atau setara dengan Rp 463 triliun (asumsi kurs Rp 15.495/US$).

Bank Pembangunan Asia (ADB) menggelontorkan dana US$ 10 miliar atau setara dengan Rp 154,49 triliun. Selain itu, IMF juga turut memberikan pertolongan dengan membentuk program Food Shock Window untuk mengatasi krisis pangan global. Bahkan, jika diperlukan negara G20 akan memberikan relaksasi hutang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular