Impor RI Mendadak Anjlok, Kudu Senang atau Sedih Nih?

Maesaroh, CNBC Indonesia
17 October 2022 15:10
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat kontainer di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (4/3/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat kontainer di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (4/3/2022). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus neraca perdagangan Indonesia menyusut menjadi US$ 4,99 miliar pada September 2022. Di luar proyeksi, impor anjlok pada September bahkan mencatatkan rekor terendahnya dalam empat bulan terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar. Nilai tersebut turun 11% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm) tetapi masih meningkat 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy). Impor pada September 2022 mencapai US$ 19,81 miliar, turun 10,58% (mtm) dan melonjak 22,01% (yoy).

Dengan demikian, neraca perdagangan pada September membukukan surplus sebesar US$ 4,99 miliar. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan pada Agustus sebesar US$ 5,71 miliar.




Surplus perdagangan tersebut sejalan dengan konsensus pasar. Polling CNBC Indonesia yang melibatkan 13 ekonom memperkirakan surplus pada Agustus hanya akan mencapai US$ 4,85 miliar.

Data BPS menunjukkan impor naik 20,28% (yoy) pada September. Kenaikan secara tahunan (yoy) tersebut adalah yang terendah sejak Februari 2021. Nilai impor September juga jauh lebih kecil dibandingkan proyeksi polling CNBC Indonesia yang memperkirakan impor akan tumbuh 34,31%.

Impor, baik sektor migas ataupun non-migas, sama-sama anjlok di kisaran 11% dibandingkan bulan sebelumnya.

Penurunan impor migas terutama terjadi pada hasil minyak. Impor komoditas tersebut turun 6,8% dari US$ 2,16 miliar pada Agustus menjadi US$ 2,01 miliar pada pada September.

Dilihat dari golongan barangnya, penurunan impor terutama terjadi pada besi dan baja, bahan kimia organic, serta mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya.

Impor terbesar Indonesia pada September masih dipegang mesin/peralatan mekanis dan bagiannya. Impor kelompok barang tersebut mencapai US$ 2,78 miliar pada September, turun 6,67% (mtm).

Impor mesin/perlengkapan elektrik dan bagiannya anjlok 11,5% (mtm) pada September menjadi US$ 2,27 miliar. Impor Besi dan baja ambles 25,6% (mtm) pada September menjadi US$ 996,1 juta sementara impor bahan kimia organic terperosok 23,1% menjadi US$ 508,9 juta.

Semua golongan penggunaan barang juga mencatatkan penurunan impor pada Agustus. Impor barang modal menyusut 6,4% (mtm) menjadi US$ 3,32 miliar. Impor bahan baku/penolong anjlok 11,1% menjadi US$ 14,91 miliar sementara impor barang konsumsi ambles 14,13% menjadi US$ 1,59 miliar.

Impor bahan baku/penolong dan barang modal menjadi salah satu indikator bagi pertumbuhan ekonomi ke depan. Investasi biasanya akan mengikuti tren impor bahan baku/penolong dan barang modal dalam selisih tiga bulan.

Ekonom Bank Danamon Irman Faiz memperkirakan impor konsumsi melandai karena konsumen masih menahan pembelian barang tahan lama (durable goods).

"Kalau saya melihat ini karena spending ke durable goodsnya masih lemah dan pengaruh juga dengan disrupsi rantai pasok global," kata Irman, kepada CNBC Indonesia.



Namun, Irman menegaskan jika penurunan impor pada September belum cukup menjadi sinyal bagi perlambatan ekonomi ke depan. Pasalnya, penjualan ritel dan kepercayaan konsumen turun.

Dia menambahkan penurunan impor barang modal dan bahan baku/penolong kemungkinan karena produsen mencari substitusi dari dalam negeri, terutama karena pelemahan nilai tukar rupiah. Merujuk data Refinitiv, rata-rata nilai tukar rupiah berada di kisaran US$ 14.983/US$1 pada September. Nilai tersebut lebih rendah US$ 14.835/US$1.

"Kemungkinan jadi ada shift di produksi dalam negeri, terutama raw materials dan barang konsumsi. Sekarang untuk produsen mengimpor lebih mahal karena shipping cost juga naik tinggi. Bisa jadi alternatif produksi dalam negeri lebih menarik. Pelemahan rupiah juga membuat impor lebih mahal," tutur Irman.

Senada, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman mengatakan penurunan impor pada September 2022 masih belum bisa dijadikan indikasi perlambatan ekonomi domestik.

"Secara yoy impor bahan baku dan barang modal masih naik. Walau memang aksi wait and see dari dalam negeri untuk impor karena pelemahan ekspor juga ada. Tapi secara musiman memang impor secara MoM pada September mostly turun," ujar Faisal, kepada CNBC Indonesia.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan ekspor melandai terutama karena permintaan dan harga komoditas mulai turun.

"Turunnya nilai ekspor disebabkan penurunan ekspor komoditas unggulan, yaitu besi dan baja, minyak kepala sawit, dan batubara. Penurunan tersebut disebabkan turunnya permintaan dan harga komoditas di pasar global," ujar Setianto, dalam konferensi pers, Senin (17/10/2022).

Menurut data Refinitiv, rata-rata harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) ambles 10,3% (mtm) sebulan pada September lalu.

Volume ekspor CPO turun menjadi 2,55 juta ton pada September 2022 dari sekitar 3,5 juta ton pada Agustus.  Nilai ekspor CPO lemak dan minyak hewani/nabati yang didominasi CPO anjlok 32% sebulan menjadi US$ 3,04 miliar pada September.

Ekspor bahan bakar mineral yang didominasi batu bara turun 1,63% sebulan menjadi US$ 5,06 miliar. Bahan bakar mineral serta lemak dan minyak hewan/nabati berkontribusi sebesar 33% dari total ekspor Indonesia. Penurunan pada kedua komoditas tersebut langsung berdampak ke kinerja keseluruhan.

Penurunan ekspor September juga mulai menjadi sinyal dari perlambatan ekonomi global. Ekspor ke negara tujuan utama Indonesia semuanya turun dibandingkan bulan lalu. Ekspor ke Tiongkok melandai 0,1%, ekspor ke Jepang menyusut 2,5%, ke Amerika Serikat ambles 18,3%, ke Korea Selatan anjlok 11,9%, dan India ambles 29,2%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular