
Minat Belanja Warga RI Meningkat, Inflasi Bakal Makin Tinggi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Minat belanja masyarakat di Tanah Air kembali meningkat setelah mengalami perlambatan yang tajam tiga bulan beruntun, hal ini dibuktikan dengan angka penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) periode Agustus di prakirakan mulai menunjukan peningkatan.
Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa IPR untuk bulan Agustus ini tercatat sebesar 202,8 tubuh 5,4% year on year/yoy, sementara itu indeks juga menguat 1,3% di bandingan periode yang sama bulan lalu (mtm).
Jika dibandingkan secara tahunan, prakiraan pertumbuhan IPR Agustus tercatat lebih rendah dibandingkan pada Juli 2022 yang tercatat sebesar 6,2% (yoy). Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari rendahnya penjualan pada Juli tahun lalu karena pada periode tersebut badai Covid-19 varian Delta yang saat itu bergejolak di Tanah Air.
Tingginya kasus positif Covid-19 dan kasus kematian memaksa pemerintah memberlakukan Pemberlakuan pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk menekan Covid-19 darurat sejak Juli. Tak dipungkiri, ini membekukan roda ekonomi Indonesia.
Peningkatan penjualan eceran terjadi pada kelompok makanan, minuman, serta tembakau yakni 7,6% yoy. Sementara sebagian besar kelompok lain masih tercatat tumbuh positif.
Kendati demikian, jika dilihat secara bulanan, prakiraan pertumbuhan IPR pada Agustus yang berada di angka 1,3%. Pertumbuhan periode ini merupakan yang terbaik jika dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
Secara bulanan, penjualan tertinggi pada Juli 2022 dilaporkan dari kelompok barang budaya dan rekreasi yakni 12% (mtm). Namun, kelompok tersebut diperkirakan akan terkontraksi 3,9% pada Agustus (mtm).
Penjualan kelompok bahan bakar kendaraan tumbuh 10% pada Juli (mtm) tetapi di proyeksi akan melambat menjadi 0,8% pada Agustus (mtm). Penjualan kelompok perlengkapan rumah tangga lainnya mencapai 7,2% pada Juli (mtm) tetapi diperkirakan melandai 0,8% pada Agustus.
Kelompok suku cadang dan akesori mencatatkan kontraksi penjualan pada Juli sebesar 2,8% (mtm) dan kemungkinan akan tetap terkontraski sebesar 0,6% pada Agustus. Penjualan kelompok makanan dan minuman yang terkontraksi 4,8% (mtm) pada Juli diperkirakan akan meningkat 2,4% (mtm) pada Agustus.
Kelompok sandang mencatatkan kenaikan penjualan sebesar 9,2% (mtm) pada Juli tetapi diperkirakan hanya bisa tumbuh 1,7% (mtm) pada Agustus.
Sementara, pada September 2022 kinerja penjualan eceran diperkirakan meningkat secara tahunan dan berada dalam fase kontrasi secara bulanan. Hal ini tercermin dari Indeks Penjualan Rill September 2022 tercatat sebesar 200 atau meningkat 5,5% secara tahunan.
Bukan tanpa alasan, September 2021 kita masih bergulat dengan virus Covid-19 varian delta yang merajalela di dalam negeri.
Bank Indonesia memperkirakan penjualan eceran pada Oktober 2022 dan Januari 2023 (3 dan 6 bulan yang akan datang) akan menurun. Indeks ekspektasi penjualan (IEP) Oktober 2022 dan Januari 2023 2022 masing-masing tercatat 148,7 dan 155,8 atau turun dibandingkan 149,6 pada September 2022 dan 157 Desember 2022.
Di sisi lain, survei BI memperkirakan tekanan inflasi pada Oktober 2022 dan Januari 2023, tiga hingga enam bulan mendatang akan meningkat.
Sebagaimana diketahui, inflasi pada September 2022 tercatat sebesar 5,95% secara tahunan sekaligus mencapai level tertinggi dalam 7 tahun terakhir. Kenaikan inflasi dikontribusikan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi (Solar, Pertalite, dan Pertamax) yang mendorong kenaikan biaya transportasi.
Per September 2022, inflasi dari komponen transportasi naik 16,01% yoy. Selain itu, kenaikan inflasi juga dikontribusikan oleh kenaikan inflasi kategori makanan, minuman, dan tembakau sebesar 7,91% yoy.
Sejauh ini pergerakan inflasi mulai merangkak naik meski bisa dikatakan masih terkendali. Namun, patut menjadi perhatian bagaimana perkembangan inflasi ke depannya.
Apalagi, melihat kondisi saat ini yang penuh dengan ketidakpastian, seperti inflasi yang masih membayangi AS dan Eropa, perlambatan ekonomi di China akibat kebijakan zero Covid-19 mereka dan krisis sektor properti yang bakal berdampak negatif terhadap ekonomi Asia termasuk Indonesia.
Ditambah lagi, Indonesia saat ini tengah menghadapi dampak negatif dari penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang diumumkan pada awal September lalu, serta efek menjelang pemilu pada 2024 mendatang.
Di sisi lain, Mandiri Spending Index menunjukkan laju inflasi telah menahan belanja masyarakat. Tingkat belanja di tiga minggu pasca kenaikan harga BBM sedikit lebih rendah dibanding sebelum kenaikan.
Inflasi 'tegak lurus' dengan daya beli karena inflasi merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan untuk mengukur daya beli masyarakat.
Dengan ini, tentu saja daya beli masyarakat kian tertekan akibat lonjakan inflasi. Bila daya beli tergerus maka aktivitas konsumsi rumah tangga juga ikut terganggu sehingga imbasnya laju pertumbuhan ekonomi akan tertahan.
Asal tahu saja, konsumsi rumah tangga masih menyumbang lebih dari 50% produk domestik bruto (PDB).
Prakiraan BI mengenai adanya tekanan penjualan dan harga ke depan juga sejalan dengan proyeksi sejumlah pihak. Kenaikan harga BBM pada awal September diyakini akan mendongkrak harga-harga serta kemungkinan akan mengurangi permintaan.
Sudah banyak lembaga yang mengerek proyeksi inflasi ke kisaran 7% dari semula di kisaran 4% pada tahun ini.
"Kenaikan harga BBM akan melambungkan inflasi. Kita perkirakan inflasi akan melewati 7% (yoy) dalam beberapa bulan," tutur ekonom OCBC Wellian Wiranto dalam laporannyaThe Unbearable Heaviness of Pertalite.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui situasi perekonomian saat ini tengah bergejolak. Dia pun minta semuanya untuk waspada tetapi tidak boleh gentar dalam menghadapinya.
"Perkembangan dunia yg sangat bergejolak tentu perlu diwaspadai, namun tidak berarti kita gentar, kita tetap optimis namun waspada," kata Sri Mulyani dalam pembukaan Profesi Keuangan Expo 2022, Senin (10/10/2022).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum) Next Article Penjualan Ritel RI Tumbuh, Tapi Melambat