Perbandingan Utang Arab Saudi, AS, & RI, Siapa Terbesar?

Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia
Kamis, 06/10/2022 07:45 WIB
Foto: Ilustrasi Jokowi (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara kaya raya dengan ekonomi maju dan penerimaan berlimpah ternyata tidak membuat pemerintahnya lolos dari jeratan utang. Buktinya, Arab Saudi dan Amerika Serikat, menjadi negara besar dengan utang jumbo saat ini.

Arab Saudi ternyata memiliki banyak utang untuk memenuhi anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN).


Utang ini menumpuk sejak tahun 2014, saat defisit APBN pertama melanda negara itu yakni sebesar 54 miliar riyal atau Rp 203 triliun. Posisi utang pemerintah mencapai 60,1 miliar riyal atau Rp 225 triliun.

Defisit terjadi karena Arab Saudi melakukan perluasan Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Perluasan itu diharapkan dapat membuat kedua masjid menampung hingga 2,5 juta jemaah.

Namun, rencana tersebut dibebani dengan kejatuhan harga minyak. Pada akhirnya Riyadh tak mampu membiayai perluasan kedua masjid.

Setahun kemudian, Arab Saudi kembali merugi setelah Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud memutuskan mengikuti perang sipil di Yaman. Defisit APBN 2015 mencapai 367 miliar riyal (Rp 1.378 triliun) dan akhirnya menambah utang lagi menjadi 142 miliar riyal (Rp 533 triliun).

Pada 2016, ekonomi Saudi mengalami perbaikan namun APBN masih menunjukkan defisit yang mencapai 297 miliar riyal (Rp 1.115 triliun). Total utang saat itu meledak mencapai 316,5 miliar riyal (Rp 1.188 triliun), dikarenakan harga minyak yang rendah dalam 2,5 tahun terakhir.

Defisit Saudi mengecil tahun 2017, yakni 8,9% dari total APBN dan menurun menjadi 230 miliar riyal (Rp 863 triliun). Utang negara itu menjadi 443,1 miliar riyal (Rp 1.663 triliun).

Berbagai cara dilakukan Saudi untuk mengecilkan defisit negaranya, misalnya menaikkan pajak bagi produk seperti rokok dan minuman kemasan. Negara kerajaan itu juga merombak aturan perpajakan.

Setahun berikutnya, ekonomi Riyadh menunjukkan perbaikan dengan penerimaan negara naik menjadi 783 miliar riyal (Rp 2.900 triliun) dan defisit hanya 195 miliar riyal (Rp 732 triliun). Utang negara naik menjadi 558 miliar riyal (Rp 2.095 triliun).

Kemudian pada April 2018, Saudi meneribitkan obligasi. Surat utang itu berhasil menarik dana sebesar 41,25 miliar riyal (Rp 154 triliun).

Defisit kembali terjadi pada 2019, yakni mencapai 131,5 miliar riyal (Rp 493 trilin) dan utang menjadi 657 miliar riyal (Rp 2.466 triliun). Ekonomi di tahun 2020 juga mengalami dinamika, yakni dari penerimaan negara turun menjadi 833 miliar riyal (Rp 3.128 triliun) dari 2019 yakni 975 miliar riyal (Rp 3.661 triliun).

Turbulensi politik terjadi pada 2020 saat Amerika Serikat (AS) menembakkan rudal ke arah iring-iringan jenderal tinggi Iran Qassem Solemani. Saudi mencetak obligasi senilai 18,75 miliar riyal (Rp 70 triliun).

Pandemi Covid-19 juga mengacak-acak ekonomi negara itu, permintaan pasar pada minyak dan larangan perjalanan untuk haji dan umrah membuat penerimaan negara menjadi ambles. Di sisi lain, Covid-19 juga butuh penanganan yang dana-nya juga besar.

Untuk itu, Saudi kembali harus berutang, di mana diprediksi menjadi 941 miliar riyal (Rp 3.533 triliun) naik 32,9% dibanding 2019. Pendapatan negara juga direvisi menjadi 770 miliar riyal (Rp 2.891 triliun) turun 16,9% dari tahun sebelumnya.

Anggaran diproyeksi defisit US$50 miliar atau Rp 707 triliun saat itu, naik US$15 miliar (Rp 212 triliun) dari tahun sebelumnya.

Tak kalah mencengangkan, Negeri Paman Sam memiliki utang jumbo. Bahkan nilainya ratusan ribu triliun.

Per awal Oktober, utang nasional Amerika Serikat (AS) melejit ke rekor tertingginya senilai US$ 31,1 miliar atau setara Rp 472,4 ribu triliun (kurs Rp 15.190) pada awal pekan ini.

Tingginya utang tersebut tak lepas dari kebijakan pinjaman besar-besaran selama pandemi Covid-19 untuk membantu menopang perekonomian negara. Pasalnya, penyebaran virus corona telah melumpuhkan ekonomi AS yang ditandai dengan jatuhnya pasar tenaga kerja dan terganggunya rantai pasokan.

Utang yang belum dibayar pun telah meningkat hampir US$ 8 triliun sejak awal 2020, dengan laju penambahan US$ 1 triliun hanya dalam delapan bulan.

Adapun, pinjaman yang terjadi di bawah pemerintahan Trump dan di awal pemerintahan Biden datang pada saat suku bunga rendah. Saat ini, selama periode inflasi yang tinggi secara historis dan serangkaian kenaikan suku bunga yang tajam oleh bank sentral, Federal Reserve, dalam pertempurannya untuk menjinakkan kenaikan harga, biaya pinjaman jadi jauh lebih tinggi.

Komite Anggaran Fiskal yang Bertanggung Jawab (CRFB) bulan lalu memperkirakan bahwa kebijakan Presiden Joe Biden dapat menambah defisit hingga US$ 4,8 triliun antara tahun 2021 dan 2031.

"Peminjaman yang berlebihan akan menyebabkan tekanan inflasi yang berkelanjutan, mendorong utang nasional ke rekor baru segera setelah 2030 dan pembayaran bunga federal tiga kali lipat selama dekade berikutnya - atau bahkan lebih cepat jika suku bunga naik lebih cepat atau lebih dari yang diharapkan," tulis CRFB, dikutip CNN International, Rabu (5/10/2022).

Mengutip data Departemen Keuangan, tingkat pinjaman Amerika telah melonjak selama dekade terakhir. Utang publik yang beredar mencapai US$ 10,6 triliun ketika mantan Presiden Barack Obama menjabat pada 20 Januari 2009; US$ 19,9 triliun ketika mantan Presiden Donald Trump menjabat pada 20 Januari 2017; dan US$ 27,8 triliun ketika Biden menjabat pada 20 Januari 2021.

Bagaimana dengan utang pemerintah Indonesia?

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan utang pemerintah hingga akhir Agustus 2022 Rp7.236,61 triliun. Lebih tinggi dari posisi utang bulan lalu Rp 7.163,12 triliun atau bertambah Rp 73,49 triliun.

"Posisi utang Pemerintah berada di angka Rp7.236,61 triliun," tulis buku APBN Kita yang dirilis Kemenkeu, Kamis (29/9/2022).

Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga bahkan lebih tinggi dari posisi sebelumnya. Kemenkeu mencatat ada kenaikan dari 37,91% menjadi 38,30%.

"Meskipun terdapat peningkatan nominal dan rasio utang pada akhir Agustus 2022, peningkatan tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal," jelas Kemenkeu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah bertekad untuk mengembalikan defisit fiskal di bawah 3% pada tahun depan, setelah selama pandemi dilonggarkan batasannya. Hal ini dilakukan dengan mengurangi penerbitan utang, terlebih ketika dunia sedang mengalami guncangan dan tren kenaikan suku bunga saat ini.

Sri Mulyani pun memastikan target utang tidak ikut naik. Ini terlihat dari defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tetap dipatok 3,92% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada tahun ini.

Sri Mulyani dan jajaran pun tengah melakukan strategi pembiayaan utang. Dia menuturkan realisasi pembiayaan utang hingga 31 Agustus 2022 mencapai Rp 331,2 triliun atau turun 40,1% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2021 yang sebesar Rp 552,6 triliun.

Realisasi pembiayaan utang hingga 31 Agustus 2022 yang mencapai Rp 331,2 triliun baru terealisasi 35,1% dari target yang sebesar Rp 943,7 triliun seperti yang diatur di dalam Perpres 98/2022.

"Bayangkan kondisi di mana sektor keuangan, pasar keuangan, pasar obligasi menghadapi guncangan besar dan bertubi-tubi, maka strategi menurunkan pembiayaan utang menjadi sangat sesuai dan tepat, baik waktu dan strategi," kata Sri Mulyani dalam konferensi APBN Kita edisi Agustus 2022, dikutip Selasa (27/9/2022).

Secara rinci, pembiayaan utang hingga 31 Agustus 2022 terdiri dari SBN (neto) sebesar Rp 317,3 triliun atau turun 44,1% jika dibandingkan realisasi periode yang sama tahun 2021 yang sebesar Rp 567,4 triliun.

Sementara itu, pinjaman neto sudah terealisasi sebesar Rp 13,8 triliun atau turun 193,3% dibandingkan dengan realisasi 31 Agustus 2021 yang sebesar Rp 14,8 triliun.


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: 8 Jurus Sri Mulyani Tembuskan 8%!