PBB Ingatkan Bahaya Krisis Utang, Indonesia Aman Gak Ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengingatkan adanya potensi krisis ekonomi di negara-negara berkembang Asia yang umumnya menanggung utang.
Menurut Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD), krisis ini bisa jadi lebih parah dibandingkan tahun 2008 dan krisis saat pandemi Covid-19 pada 2020.
"Semua wilayah akan terpengaruh, tetapi bel alarm paling sering berbunyi untuk negara-negara berkembang, banyak di antaranya mendekati default utang," kata UNCTAD dalam Laporan Perdagangan dan Pembangunan 2022 yang dikutip CNBC Internasional, dikutip Rabu (5/10/2022).
Sekretaris Jenderal UNCTAD, Rebeca Grynspan, memprediksi negara-negara berkembang di Asia sedang menuju resesi ekonomi. Apalagi, bila kebijakan negara-negara maju justru mengarah pada kenaikan suku bunga.
"Kita masih punya waktu untuk mundur dari tepi resesi. Tidak ada yang tak terelakkan. Kita harus mengubah arah," ujar Grynspan.
Seperti diketahui, salah satu negara Asia, Sri Lanka telah tenggelam lebih dalam ke dalam krisis utang. IMF mengumumkan paket bantuan US$2,9 miliar untuk Sri Lanka.
Melihat perkembangan ini, bagaimana nasib Indonesia yang masuk ke dalam kategori negara berkembang?
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan utang pemerintah hingga akhir Agustus 2022 Rp7.236,61 triliun. Lebih tinggi dari posisi utang bulan lalu Rp 7.163,12 triliun atau bertambah Rp 73,49 triliun.
"Posisi utang Pemerintah berada di angka Rp7.236,61 triliun," tulis buku APBN Kita yang dirilis Kemenkeu, Kamis (29/9/2022).
Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga bahkan lebih tinggi dari posisi sebelumnya. Kemenkeu mencatat ada kenaikan dari 37,91% menjadi 38,30%.
"Meskipun terdapat peningkatan nominal dan rasio utang pada akhir Agustus 2022, peningkatan tersebut masih dalam batas aman, wajar, serta terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal," jelas Kemenkeu.
Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menegaskan komitmen pemerintah untuk melakukan normalisasi defisit fiskal kembali ke kisaran di bawah 3% pada 2023.
Untuk mengembalikan defisit ke kisaran normal pasca-pandemi, pemerintah akan melakukan konsolidasi fiskal. Hal ini ditandai dengan upaya mengerem penerbitan utang.
Sri Mulyani mengungkapkan, realisasi pembiayaan utang hingga 31 Agustus 2022 mencapai Rp 331,2 triliun atau turun 40,1% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2021 yang sebesar Rp 552,6 triliun.
Realisasi pembiayaan utang hingga 31 Agustus 2022 yang mencapai Rp 331,2 triliun baru terealisasi 35,1% dari target yang sebesar Rp 943,7 triliun seperti yang diatur di dalam Perpres 98/2022.
"Bayangkan kondisi di mana sektor keuangan, pasar keuangan, pasar obligasi menghadapi guncangan besar dan bertubi-tubi, maka strategi menurunkan pembiayaan utang menjadi sangat sesuai dan tepat, baik waktu dan strategi," kata Sri Mulyani dalam konferensi APBN Kita edisi Agustus 2022, dikutip Rabu (5/10/2022).
Menurut data Kemenkeu, pembiayaan utang hingga 31 Agustus 2022 terdiri dari SBN (neto) sebesar Rp 317,3 triliun atau turun 44,1% jika dibandingkan realisasi periode yang sama tahun 2021 yang sebesar Rp 567,4 triliun. Sementara itu pinjaman neto sudah terealisasi sebesar Rp 13,8 triliun atau turun 193,3% dibandingkan dengan realisasi 31 Agustus 2021 yang sebesar Rp 14,8 triliun.
Sri Mulyani juga menjelaskan, pada September telah dilakukan penerbitan SBSN ritel seri SR017 sebesar Rp 26,97 triliun dan Global Bonds sebesar US$ 2,65 miliar.
"Termasuk kita mengeluarkan liability management sebesar US$ 325 miliar untuk mengurangi eksposur jatuh tempo dan suku bunga. Ini strategi pengelolaan utang untuk kita bisa menjaga agar APBN, keuangan negara, utang negara terjaga prudent," jelasnya.
Kemudian, Sri Mulyani juga akan melakukan penyesuaian target lelang SBN sebagai respon terhadap outlook defisit yang lebih rendah dari target APBN, penyesuaian target SBN valas seperti Global Bonds untuk diturunkan menyesuaikan kondisi kas pemerintah dan dinamika pasar keuangan.
Selain itu, strategi pengelolaan pembiayaan utang yang juga akan ditempuh Sri Mulyani adalah dengan memperbesar penerbitan SBN ritel sebagai upaya berkelanjutan meningkatkan partisipasi investor domestik dan fleksibilitas pinjaman program.
"Kita akan terus waspadai situasi yang terjadi ini, termasuk menetapkan kapan kita akan mengeluarkan surat utang dalam jumlah berapa dan term maturity-nya seperti apa. Ini untuk menjaga Indonesia dari berbagai guncangan," jelas Sri Mulyani.
"Kita melihat banyak negara mengalami krisis, sehingga tidak mampu mengelola APBN dengan baik, ini kita hindari agar tak terjadi di Indonesia," tegas Sri Mulyani.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Anjlok, Sri Mulyani Buka-bukaan Soal Nasib Utang RI
