Waspada! Momok Ini Lebih 'Ngeri' Dibandingkan Kata Jokowi

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2022 telah mencapai 5,95% secara tahunan.
Angka ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak Oktober 2015. Inflasi terutama bersumber dari peningkatan harga kelompok administered prices, yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Inflasi yang kian menanjak ini telah menjadi momok nyata yang berulang diingatkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, sejumlah ekonom mengingatkan ada ancaman yang lebih mengerikan dari inflasi yang melonjak.
Ancaman tersebut adalah stagflasi. Stagflasi merupakan kondisi dimana inflasi merangkak naik dibarengi dengan kontraksi ekonomi.
Direktur Celios Bhima Yudhistira menilai kondisi berbahaya bukan soal inflasi di atas 6% atau 10%, tetapi stagflasi dimana inflasi tinggi tapi pergerakan sektor riil lebih rendah.
Kondisi stagflasi ini dapat memicu kenaikan angka pengangguran. Bhima pun melihat adanya tanda-tanda risiko stagflasi ke depannya.
"Angka tingkat pengangguran belum kembali ke prapandemi, bahkan pengangguran usia muda (15-24 tahun) di Indonesia mencapai 16% tahun 2021, lebih tinggi dibanding 1997 yakni 14.6%," paparnya.
Kemudian laju inflasi tahun ini diperkirakan melebihi pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, laju inflasi 5,95% pada September 2022 bukan puncak dari kenaikan harga.
Dia mengungkapkan inflasi beberapa bulan kedepan masih akan meningkat.
"Efek naiknya harga BBM masih dirasakan ke hampir seluruh komponen inflasi karena adanya penyesuaian tarif logistik, imported inflation akibat pelemahan nilai tukar rupiah, dan situasi pangan global yang belum menunjukkan perbaikan signifikan," ungkapnya.
Dari sisi permintaan, lanjutnya, ada faktor seasonal libur natal tahun baru yang biasanya mempengaruhi harga pangan.
Akumulasi faktor tersebut diperkirakan membuat inflasi bertahan di 5,5% - 6% sampai akhir tahun.
"Ini tanda tanda Indonesia masuk pada stagflasi," kata Bhima.
Ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman pun mengungkapkan bahwa tingkat bahaya bukan dinilai dari level atau nominal kenaikannya. Tetapi, persistensi kenaikannya.
"Jadi kalo inflasi naik terus dan berujung stagflasi ini yang akan jadi bahaya," paparnya.
Dia mengingatkan jika kenaikan yang lebih tinggi terjadi pada inflasi inti, intervensi pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus lebih besar.
[Gambas:Video CNBC]
'Horor' Inflasi Sudah Tiba, Resesi dan Stagflasi Menanti?
(haa/haa)