
Dunia Terancam Resesi Jamaah, Ini Dampak Pahitnya ke RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman resesi global yang semakin nyata bisa menjadi bumerang bagi perekonomian Indonesia. Dampak negatif perlambatan ekonomi global bisa merembet melalui jalur ekspor hingga pasar keuangan.
Situasi global pada saat ini mirip dengan 2008/2009 saat terjadi krisis keuangan global dan resesi ekonomi Amerika Serikat (AS). Pada periode tersebut terjadi lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga acuan, lompatan harga pangan dan energi, serta perlambatan ekonomi.
Sebagai dampak krisis 2008/2009, ekonomi Indonesia melambat ke 4,6% pada 2009 dari 6% pada 2008. Ekspor juga anjlok 14,98% sementara inflasi menembus 11,06% karena lonjakan harga pangan dan energi.
Krisis juga membuat tekanan pada pasar keuangan meningkat. Rupiah tertekan hingga sempat mencapai Rp 12.150 per dolar AS pada November 2008 disertai melonjaknya volatilitas yang mencapai 4,67%. Secara rata-rata, nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,4% dari Rp 9.140 (2007) menjadi Rp 9.666 (2008).
Yield Surat Utang Negara tenor 10 tahun pada 2008 menyentuh double digit bahkan 19,13% pada 21 November 2008.
Resesi global sebenarnya terjadi pada 2020 tetapi resesi lebih disebabkan karena krisis kesehatan. Pada tahun ini, ancaman resesi global juga kian menjadi nyata. Perang Rusia-Ukraina, kebijakan moneter ketat, serta lonjakan harga pangan dan energi membuat ekonomi global akan melambat.
Secara teknikal, ekonomi AS sudah memasuki resesi pada kuartal II-2022. Nomura Holdings memperkirakan Inggris, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan Kanada akan memasuki resesi selambatnya pada semester I-2023. Bank Dunia juga mengingatkan jika global akan masuk jurang resesi pada 2023 akibat kenaikan suku bunga acuan global.
Sebagai bagian dari perekonomian global, perekonomian Indonesia juga akan terdampak dari apa yang terjadi di dunia.
Dampak yang sudah terekam adalah laju inflasi. Inflasi Indonesia diperkirakan akan melewati 6% pada tahun ini setelah pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi.
Lonjakan harga minyak mentah memaksa pemerintah menaikkan harga BBM Subsidi pada awal bulan ini. Harga pangan juga melambungkan inflasi kelompok volatile pada tahun. Inflasi kelompok volatile pernah menembus 11,47% pada Juli secara tahunan (year on year/yoy), atau tertinggi sejak Januari 2014.
Tekanan inflasi yang tinggi, terutama pangan, bisa semakin membebani kelompok tidak mampu. Angka kemiskinan dikhawatirkan akan naik karena pendapatan mereka sebagian besar habis untuk konsumsi pangan.
Ekonom UOB Enrico Tanuwidjaja mengatakan lonjakan inflasi akan membuat masyarakat lebih pemilih dalam berbelanja.
"Permintaan konsumsi akan beralih kepada item esensial saja seperti makanan, pakaian, dan pendidikan. Konsumen akan menunda konsumsi untuk hal-hal yang tidak esensial," tutur Enrico dalam laporannya Quarterly Global Outlook 4Q 2022: Global Outlook Darkens.