
Agar Terhindar dari Krisis Mata Uang, RI Kudu Piye?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi dunia makin tidak pasti. Bahkan tahun depan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah mengingatkan bahwa kondisi dunia dalam 'awan gelap' dan ada badai besar yang akan menghadang, termasuk krisis mata uang.
"Hati-hati ketidakpastian ini, mengenai ketidakpastian ini, dan tiap hari kita selalu diingatkan dan kalau kita baca baik di media sosial di media cetak, di media online semuanya mengenai resesi global, tahun ini sulit dan tahun depan sekali lagi saya sampaikan akan gelap, dan kita tidak tahu badai besarnya seperti apa sekuat apa tidak bisa dikalkulasi," kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, Kamis (29/9).
Dia memaparkan krisis mata uang menghantam negara-negara seperti Inggris. Sementara itu, Indonesia juga tengah mengalami pelemahan rupiah.
Tim riset CNBC Indonesia bahkan menghitung risiko pelemahan rupiah masih di sekitar Rp 15.300/US$ - Rp 15.330/US$ pada perdagangan hari ini, Jumat (30/9/2022).
Direktur Core Indonesia Piter Abdullah menuturkan pelemahan rupiah dipengaruhi oleh kondisi global. Bahkan, lembaga internasional telah mengonfirmasi bahwa kondisi ekonomi global gelap.
"Gelap artinya ketidakpastiannya begitu tinggi. Bahkan disebut terancam risiko stagflasi di mana perekonomian terkontraksi, perlambatan, sementara di sisi lain mengalami inflasi yang tinggi," kata Piter dalam Evening Up, dikutip Jumat (29/9/2022).
Ketidakpastian itu akan menyebabkan investor memilih investasi aman, yakni instrumen safe haven. Salah satu instrumen yang aman adalah mata uang dolar.
Selanjutnya, kebijakan the Fed dalam memerangi inflasi cukup agresif. Sepanjang 2022, kenaikannya sudah mencapai 300 basis points (bps).
"Spread tingkat bunga acuan the Fed dan Indonesia hanya selisih 100 bps, saya akui ini adalah kondisi yang luar biasa yang tidak pernah kita lihat sebelumnya," papar Piter. Kondisi ini dirasakan tidak hanya oleh Indonesia, tetapi dunia.
"Rupiah melemah itu bukan kitanya, tetapi dolarnya yang menguat sangat besar dan itu penguatannya tidak hanya pada rupiah, tetapi pada mata uang lainnya," sambung Piter.
Kepala Ekonom Bank Cental Asia David Sumual mengingatkan soal ancaman kenaikan yield dari US Treasury atau surat utang AS yang dapat membebani aset di dalam negeri.
"Ini seperti lingkaran setan, ada penguatan US dollar dan ada kenaikan yield US Treasury. Di sisi lain, karena ada penguatan USD, banyak negara yang melakukan intervensi dengan menjual USDnya," papar David.
Jika dilihat, kepemilikan dolar AS cenderung turun seiring dengan intervensi valas. Saat ini, kata David, bukan hanya negara berkembang yang terkena dampak. Negara kuat juga mengalami pelemahan nilai tukar, seperti Jepang dan Inggris, yang mencapai lebih dari 20%.
Pelemahan nilai tukar beberapa mata uang dunia ini terjadi pada September, setelah afirmasi the Fed di Jackson Hole. Di tengah pelemahan ini, David menilai sektor usaha tidak hanya melihat posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar.
Menurutnya, sektor usaha membutuhkan smoothing stabilitas sehingga dapat memberikan kepercayaan dalam melakukan transaksi investasi dan transaksi harian, terkait ekspor dan impor.
Selanjutnya, dia menilai kerja sama transaksi repo dan bilateral swap yang dilakukan BI harus diperluas guna memperkuat kepercayaan pasar.
Operation twist yang menjadi andalan BI saat ini juga sangat membantu memperkuat kepercayaan pasar. Alhasil, investor asing mulai masuk di pasar SBN. Meskipun, volatilitas turut mempengaruhi transaksi di dalam negeri.
David juga berharap pemerintah dan semua pihak terkait dapat memastikan bahwa devisa hasil ekspor benar-benar masuk ke dalam negeri.
"Dana hasil ekspor bagaimana benar-benar masuk dan penguatan terhadap sanksi juga yang selama ini juga agak rileks selama pandemi," paparnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bank Indonesia Beberkan Pemicu Rupiah K.O.