Merosot Terus, Rupiah Bakal Seperti Krisis 2008 atau 1998?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 September 2022 08:00
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah merosot dalam beberapa hari terakhir, nilai tukar rupiah gagal menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis kemarin. Padahal, di awal perdagangan sempat menguat cukup tajam.

Rupiah mengakhiri perdagangan Senin di Rp 15.260/US$, dekat level terlemah dalam 2,5 tahun terakhir.

Dolar AS memang sedang sangat perkasa akibat kenaikan suku bunga The Fed (bank sentral AS) dan risiko resesi berjamaah di tahun depan. Dolar AS yang menyadang status safe haven menjadi primadona, semua mata uang Asia hingga Eropa rontok di tahun ini.

Rupiah melemah lebih dari 7%, tetapi mata uang Asia lainnya jauh lebih buruk lagi, rupee India dan peso Filipina bahkan menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah tercatat di Refinitiv.

Secara persentase, yen Jepang menjadi yang paling parah, merosot lebih dari 25% dan berada di level terlemah dalam 24 tahun terakhir. Kurs ringgit Malaysia juga berada di level terlemah sejak 1998, yuan China terlemah dalam 14 tahun terakhir.

Dari Eropa, poundstering juga menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah, sementara euro di level terendah 20 tahun.

Hal ini tentunya mengingatkan krisis moneter yang terjadi di tahun 1998, saat mata uang Asia berguguran.

Krisis 1997/1998 bermula dari krisis mata uang di beberapa negara Asia, seperti Thailand. Krisis itu menjalar ke Indonesia dan dengan cepat menggoyang perekonomian nasional yang fondasi ekonominya rapuh.

Pada Januari 1998, kurs rupiah sempat merosot hingga 185%, dari Rp 5.400/US$ pada akhir 1997 hingga menyentuh Rp 15.400/US$ pada 23 Januari 1998.

Setelahnya rupiah mampu memangkas pelemahan, tetapi mulai pertengahan tahun kembali merosot hingga menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$ pada 17 Juni 1998.

Jebloknya kurs rupiah membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih.

Selain 1998, gejolak nilai tukar juga pernah terjadi pada krisis finansial 2008.

Krisis keuangan 2008-2009 dipicu oleh kredit macet di sektor properti AS (subprime mortage). Krisis tersebut kemudian menumbangkan sejumlah perusahaan seperti Lehman Brothers.

Saat itu nilai tukar rupiah juga merosot hingga dari kisaran Rp 9.000/US$ hingga menyentuh Rp 12.000/US$. Tetapi tidak seperti 1998, perekonomian Indonesia masih cukup kuat karena struktur ekonomi yang membaik.

Setelahnya, pasar mata uang mengalami gejolak lagi pada periode 2013-2015 saat taper tantrum, kemudian 2018 saat The Fed menaikkan suku bunga dengan agresif, dan 2020 saat awal pandemi Covid-19.

Perekonomian Indonesia pun masih tetap tegar meski sempat mengalami resesi di 2020, yang juga melanda hampir semua negara.

Kali ini pun, rupiah masih terlihat cukup stabil. Terbukti pelemahannya tidak sebesar mata uang Asia lainnya.

Fundamendal dalam negeri yang semakin membaik menjadi alasannya.

Bank Indonesia (BI) memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan triple intervention guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

Pada 1998, cadangan devisa Indonesia 'hanya' belasan miliar dolar AS. Per akhir Agustus 2022, cadangan devisa mencapai US$ 132,2 miliar.

Harga komoditas yang melambung tinggi membuat neraca perdagangan mencatat surplus hingga 28 bulan beruntun. Surplus tersebut membantu transaksi berjalan (current account) juga surplus. Sehingga pasokan valuta asing mengalir ke dalam negeri, yang membuat rupiah lebih stabil.

Selain itu, sejak pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), investor asing ramai-ramai menarik dananya dari pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang tahun ini hingga 26 September terjadi capital outflow di pasar SBB hingga Rp 150 triliun.

Alhasil, kepemilikan SBN oleh investor asing kini kurang dari 15%. Bagi rupiah, hal ini bisa menguntungkan sebab risiko terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar lagi, dan stabilitas rupiah lebih terjaga.

BI juga sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin dalam dua pertemuan terakhir menjadi 4,25% guna menjaga inflasi dan stabilitas rupiah. Ruang untuk kembali menaikkan suku bunga juga masih terbuka tanpa membuat perekonomian merosot tajam.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular