'Kiamat' Ini di Mana-Mana: dari Malaysia-AS ke Jepang-Inggris
Jakarta, CNBC Indonesia - 'Kiamat' tenaga kerja kini melanda sejumlah negara di dunia. Setidaknya beberapa negara telah menunjukkan fakta-fakta tersebut, seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Jepang, hingga negara-negara tetangga RI seperti, Malaysia dan Australia.
Pandemi Covid-19 disebut-sebut menjadi salah satu penyebab kurangnya tenaga kerja di negara-negara. Berikut rangkumannya, dikutip CNBC Indonesia dari berbagai sumber, Jumat (16/9/2022).
1. Malaysia
Malaysia jadi salah satu negara yang terkena fenomena ini. Negeri Jiran mengalami kekurangan jutaan pekerja, membuat negara tetangga ini jatuh ke krisis tenaga kerja migran pada Juni 2022.
Krisis tenaga kerja asing di Malaysia juga dimulai saat pandemi menjangkit. Para pekerja dari migran kembali ke negara asalnya masing-masing, termasuk yang berasal dari Indonesia.
Indonesia sendiri menjadi salah satu penyumbang tenaga kerja migran di Malaysia. Kontribusinya berkisar 40% dari seluruh pekerja migran yang datang ke Negeri Jiran.
Ini berdampak ke industri perkebunan kelapa sawit hingga semikonduktor. Mereka terpaksa kehilangan miliaran penjualan.
"Meskipun optimisme yang lebih besar dalam prospek dan peningkatan penjualan, beberapa perusahaan sangat terhambat dalam kemampuan mereka untuk memenuhi pesanan," kata Presiden Federasi Produsen Malaysia, Soh Thian Lai, yang mewakili lebih dari 3.500 perusahaan kala itu.
"Situasinya mengerikan dan sangat mirip dengan permainan sepak bola melawan 11 orang tetapi hanya diizinkan untuk memasukkan tujuh orang," tambahnya
Mengutip Reuters, produsen mengatakan Malaysia kekurangan 1,2 juta pekerja. Sebanyak 500.000 untuk konstruksi, 12.000 untuk kelapa sawit, 15.000 untuk chip, dan 12,000 untuk sarung tenaga medis.
2. Australia
Kelangkaan tenaga kerja terjadi di Australia akibat penutupan perbatasan lebih dari dua tahun selama pandemi Covid-19. Ini rupanya tak hanya menahan penyebaran virus, tetapi juga memblokir akses ke pekerja potensial untuk negara tersebut.
Australia bahkan melakukan berbagai cara agar mendapatkan pada pekerja kembali. Pekan lalu, pemerintah Australia meningkatkan jumlah migrasi permanen menjadi 195.000 dari tahun keuangan ini, Jumlah ini meningkat 35.000 orang.
Pengusaha berharap mereka akan membantu mengisi kesenjangan dalam angkatan kerja, tetapi dengan hampir setengah juta lowongan di seluruh negeri dan tingkat pengangguran 3,4%, level terendah hampir 50 tahun.
Masalahnya tidak hanya terkait dengan penutupan perbatasan Covid-19, para ahli mengatakan sistem visa sudah sulit dilalui para pekerja migran. Bahkan sebelum pandemi.
Diketahui bahwa ratusan ribu orang menunggu aplikasi visa mereka diproses. Ini menciptakan disinsentif bagi pelamar baru yang sangat terampil, yang mungkin mendapatkan penawaran di tempat lain.
"Saya pikir masalah terbesar saat ini sebenarnya adalah membuat orang masuk ke negara itu terlepas dari batasannya," kata Direktur Deloitte Access Economics, Blair Chapman, dikutip Reuters.
"Kami benar-benar bersaing dalam skala global sekarang dengan kekurangan yang dilaporkan di seluruh dunia dan perlu ada pemikiran serius yang diberikan tentang bagaimana kami benar-benar menarik orang ke Australia," tambahnya.
3. Amerika Serikat (AS)
AS juga menghadapi 'kiamat' tenaga kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meski perusahaan menawarkan bonus dan gaji yang tinggi, pekerjaan yang ditawarkan tak kunjung mendapatkan staff.
Menurut Fox News, ini terjadi pada sejumlah bisnis. Seperti restoran, toko, hingga penerbangan mulai dari petugas bagas ke pilot dan pramugari. Mengutip laman Kamar Dagang AS, sektor perawatan kesehatan dan bantuan sosial serta akomodasi juga menghadapi hal serupa, dimana lowongan pekerjaan tinggi tapi pelamar minim.
Menurut Small Business Index AS, 60% usaha kecil telah menerapkan perubahan selama setahun terakhir untuk meningkatkan retensi karyawan dengan taktik meningkatkan upah. Namun ini membebani ketika semua biaya naik.
Data dari bank sentral, Federal Reserve St. Louis, juga menunjukkan demikian. Selama 2022, badan itu telah melihat jumlah lowongan pekerjaan tertinggi dalam catatan.
Namun, tingkat partisipasi angkatan kerja tetap satu poin persentase penuh di bawah tingkat pra-Covid-19. Melansir The Conversation, kesenjangan antara permintaan tenaga kerja dan pasokannya sudah terbentuk pada tahun 2017, namun ini makin menjadi kala pandemi Covid-19 dimulai. Itu menyebabkan tren "Great Resignation" di AS.
"Pada tahun 2021, lebih dari 47 juta pekerja berhenti dari pekerjaan mereka, banyak di antaranya mencari keseimbangan dan fleksibilitas kehidupan kerja yang lebih baik, peningkatan kompensasi, dan budaya perusahaan yang kuat," kata Direktur Kebijakan Pekerja Global dan Inisiatif Khusus Kamar Dagang AS, Stephanie Ferguson.
Selama pandemi, pekerjaan yang membutuhkan kehadiran langsung dan secara tradisional memiliki upah lebih rendah, akan kesulitan untuk mempertahankan pekerja. Misalnya, industri rekreasi dan perhotelan serta ritel.
"Tingkat berhenti rekreasi dan perhotelan tertinggi sejak Juli 2021, secara konsisten di atas 5,4%. Tingkat berhenti untuk industri perdagangan ritel tidak jauh di belakang, dengan tingkat melayang mendekati 4%," ujarnya.
Bukan hanya itu, bentuk pekerjaan jarak jauh (WFH) juga menjadi soal lain di AS. Data menemukan bahwa 91% pekerja AS berharap mereka dapat terus bekerja beberapa jam dari rumah.
4. Kanada
Kanada juga dilanda 'kiamat' tenaga kerja akibat ramai-ramai pekerja di negara itu 'pensiun dini'. Angkatan kerja memang masih tumbuh di Agustus, tetapi pertumbuhannya turun dibanding dua bulan sebelumnya dan tetap lebih kecil
"Puluhan ribu orang berhenti bekerja ... Banyak dari itu dikaitkan dengan lebih banyak orang Kanada pensiun," tulis Reuters mengutip data Statistics Canada, Senin (12/9/2022).
Rekor jumlah warga Kanada berusia 55-64 tahun yang pensiun dalam 12 bulan terakhir meningkat. Itu, mempercepat eksodus massal pekerja paling terampil Kanada.
Banyak yang mengaitkan ini dengan pandemi. Selama wabah datang, angka pensiun turun karena banyak warga Kanada memutuskan untuk tetap bekerja lebih lama.
Dengan dicabutnya pembatasan Covid-19, banyak yang bergegas untuk 'menebus waktu yang hilang'. Mereka memilih untuk bepergian dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga.
Kepergian ini, menurut analis, menyusutkan angkatan kerja. Itu akan membebani pertumbuhan ekonomi pada saat bank sentral secara agresif menaikkan suku bunga untuk melawan lonjakan inflasi, meningkatkan kekhawatiran bahwa ekonomi akan jatuh ke dalam resesi.
Bidang kesehatan misalnya terimbas paling parah. Sejak Mei, Kanada telah kehilangan 34.400 pekerjaan di bidang perawatan kesehatan. Hal yang sama juga terjadi pada industri trasportasi, di mana banyak supir juga menua, seiring dua tahun pandemi.
Mengutip data lengkap Statistik Kanada, ada 307.000 warga Kanada yang telah meninggalkan pekerjaan mereka untuk pensiun pada Agustus. Ini naik 31,8% dari satu tahun sebelumnya dan 12,5% lebih tinggi dari pada Agustus 2019.
Perlu diketahui, 620.000 orang Kanada memasuki kategori usia 65 than ke atas selama pandemi. Ini merupakan peningkatan 9,7% dalam kelompok populasi itu.
5. Inggris
Inggris kini juga mengalami kekurangan pekerja. Dari data terbaru, hampir setengah dari bisnis di Barat Daya Wales mengalami kekurangan pekerja terampil. Wales adalah bagian dari negara Inggris Raya, selain Inggris, Skotlandia, dan Irlandia Utara.
Studi terbaru merujuk Kantor Statistik Nasional (ONS) menemukan 44% perusahaan yang berbasis di wilayah tersebut terkena dampak kekurangan pekerja. Jumlah ini lebih banyak daripada bagian wilayah lain di Inggris dan 8% di atas rata-rata nasional.
Data penelitian Wales memaparkan perusahaan di South West memiliki persentase tertinggi yang berjuang mencari pegawai (42,5%). Disusul wilayah East Midlands (42,2%).
"Sebagai akibat dari kurangnya staf, 58% bisnis di South West memiliki karyawan yang bekerja lembur, sementara 40% mengatakan mereka tidak dapat memenuhi tuntutan," ujar Access2Funding, yang berada di balik penelitian tersebut, dikutip dari Business Live, Kamis (15/9/2022).
Secara rinci, kekurangan staff terbanyak berada di sektor kesehatan manusia dan pekerjaan sosial, mencapai 56%. Lalu diikuti sektor akomodasi dan layanan makanan 52%. Setelahnya, ada pula transportasi dan penyimpanan mencapai 37%, konstruksi 37%, dan manufaktur 35%.
Kekurangan staff ini bukan tanpa kebab. Angka-angka tersebut berkorelasi dengan studi Universitas Oxford yang menemukan kenaikan lowongan di Inggris tertinggi terkait pekerjaan yang paling banyak bergantung ke pekerja Uni Eropa (UE) di masa pra-pandemi.
Brexit membuat pekerja migran sulit datang. Belum lagi wabah Covid-19 yang sempat menutup perbatasan.
6. Jepang
Fenomena 'kiamat' tenaga kerja kini sampai ke Jepang. Perusahaan di negeri tersebut mengalami kekurangan staf kronis sekarang.
Reuters menulis bagaimana pelaku usaha berjuang memikat pekerja, termasuk paruh waktu. Kenaikan upah juga menjadi salah satu strategi untuk mendapatkan kembali para pekerja.
Sebenarnya, kekurangan pekerja telah terungkap dalam jajak pendapat laman yang sama, Agustus lalu. Perusahaan besar memang mulai menaikkan upah untuk menarik pekerja guna mengatasi krisis ini.
Hal sama juga sudah diisyaratkan pemerintah. Perdana Menteri (PM) Fumio Kishida pun meminta perusahaan untuk menaikkan upah.
Mengutip Nikkei Asia, Jepang memang telah memiliki banyak lowongan pekerjaan daripada pelamar sejak Juli. Ini seharusnya menjadikan negeri itu tempat pas untuk para pencari kerja.
Namun, populasi usia kerja menyusut drastis. Ini membebani prospek pemulihan dari perlambatan yang disebabkan oleh pandemi.
Dari data bulan yang sama misalnya, ada 1,27 posisi terbuka untuk setiap pencari kerja di Jepang. Ini angka tertinggi dalam sekitar dua tahun dengan sektor yang paling kekurangan adalah hotel, restoran dan manufaktur.
Banyak pengamat menilai kekurangan tenaga kerja ini akan tumbuh lebih serius. Bahkan hingga tahun-tahun ke depan.
Nomura Research Institute sendiri memperkirakan Jepang akan menghadapi kekurangan 10,47 juta pekerja pada tahun 2030. Ini sekitar 15% dari keseluruhan tenaga kerja.
(tfa/sef)