
Lembaga Asing Ini Warning RI: 'Badai Besar' Segera Datang!

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga rating internasional S&P Global Ratings memberikan sejumlah peringatan kepada Indonesia terkait kondisi ekonomi ke depan. Tingginya inflasi, pengetatan kebijakan moneter, serta arus modal asing keluar (capital outflow) bak badai besar yang dikhawatirkan membebani laju ekonomi domestik.
S&P mengatakan pemulihan ekonomi akan berlanjut tetapi tekanan inflasi dan guncangan dari eksternal menjadi risiko terbesar bagi pemulihan tersebut.
"Inflasi melonjak dalam beberapa bulan terakhir karena harga energi dan bahan makanan. Inflasi inti juga akan terus meningkat sejalan dengan permintaan domestik. Kenaikan harga energi yang baru diumumkan juga akan meningkatkan tekanan inflasi secara signifikan," tutur Vishrut Rana, ekonom Asia Pasifik S&P dalam webinar bertajuk "Indonesia Braces For Turbulence", Kamis (8/9/2022).
Seperti diketahui, akhir pekan lalu, pemerintah secara resmi menaikkan harga BBM Pertalite, Solar, dan Pertamax.
Kenaikan tersebut dikeluarkan di saat Indonesia masih berkutat dengan tingginya inflasi, terutama yang didorong kenaikan harga pangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Indonesia pada Agustus lalu mencapai 4,69% (year on year/yoy)). Inflasi memang melandai dibandingkan Juli (4,94%) tetapi masih dalam level tertinggi dalam 7,5 tahun terakhir.
Sementara itu, BPS juga mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,44% (yoy) pada kuartal II-2022, meningkat dibandingkan pada kuartal I-2022 (5,01%).
S&P memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1% pada 2022, lebih tinggi dibandingkan pada 3,7% pada 2021. Inflasi diperkirakan akan menembus 4%, jauh lebih tinggi dibandingkan 1,87% pada 2021.
Inflasi diperkirakan masih menembus 4% pada 2023 sebagai dampak kenaikan harga BBM.
Satu hal positif yang dinikmati Indonesia adalah kenaikan ekspor karena harga komoditas. Ekspor tidak hanya akan menopang pertumbuhan ekonomi tetapi juga transaksi berjalan serta rupiah.
"Outlook ekonomi kini menjadi lebih tidak pasti karena pertumbuhan global yang akan lebih rendah. Ada juga risiko inflasi, kenaikan harga BBM, dan perlambatan ekspor," ujar Vishrut.