FYI! Ini Cerita Dibalik 'Panic Buying' Batu Bara Eropa
Bali, CNBC Indonesia - Negara-negara Eropa makin dilanda panic buying membeli batu bara menyebabkan transisi energi menjadi lebih menantang.
Eropa rupanya harus menanggung konsekuensi besar ketika menjatuhkan hukuman kepada Rusia akibat serangan ke Ukraina. Alih-alih ingin membangkrutkan Rusia, Eropa malah 'buntung' energi. Pasalnya sumber energi terbesar Eropa berasal dari Moskow. Mulai dari gas hingga batu bara.
Saat ini aliran gas dari Rusia terganggu karena adanya agenda perawatan pipa gas Nord Stream 1 yang membawa gas Rusia ke negara dengan ekonomi terbesar di Eropa. Padahal setelah agenda pemeliharaan sebelumnya, pipa Nord Stream hanya menyalurkan 20% gas dari kapasitas normalnya.
Pekerjaan pemeliharaan pipa Nord Stream 1 yang dikelola Gazprom akan dihentikan selama 3 hari dari 31 Agustus hingga 2 September. Di sisi lain, larangan impor batu bara sudah mulai berjalan sejak Agustus meskipun untuk kontrak jangka panjang tetap dijalankan.
Rusia sendiri adalah pemasok energi terbesar Eropa. Menurut data BP Statistical Review of World Energy 2022, kontribusi minyak mentah Rusia ke Eropa mencapai 138,7 juta ton pada 2021 atau 29,6% dari total impor minyak Eropa. Jumlah tersebut membuat Rusia jadi negara importir minyak terbesar Eropa.
Rusia mendominasi impor Eropa untuk gas alam. Melalui pipa, Rusia berhasil mengirimkan gas sebanyak 167 juta kubik meter pada 2021 atau 45% dari total keseluruhan. Pun dengan perdagangan batu bara, di mana Eropa banyak membeli dari Moskow. Jumlahnya sebesar 2,11 exajoules atau 48% dari total keseluruhan impor batu bara Eropa.
Karena minimnya pasokan gas jelang musim dingin, terjadi panic buying oleh Eropa khususnya untuk membeli batu bara. Hal ini tentu saja membuat agenda transisi energi demi mencapai Net Zero Emission (NZE) dunia semakin menantang.
Direktur Jenderal International Renewable Energy Agency (IRENA) Fransesco La Camera memberi pandangan mengenai kondisi ketidakstabilan energi global karena pasokan gas yang terganggu. "Ini tentu saja merupakan tantangan," kata Fransesco.
Hal ini karena negara-negara berusaha mencari cara lain untuk memiliki pasokan gas yang dibutuhkan untuk musim dingin berikutnya. Dampaknya adalah banyak negara yang kembali ke energi fosil seperti batu bara sebagai jalan pintas.
Pembelian batu bara menjadi jalan tercepat dibandingkan dengan investasi gas yang merupakan energi transisi menuju energi hijau. Namun di sisi lain muncul peluang baru untuk mempercepat transisi energi dunia. Contohnya saja Uni Eropa yang hanya dalam beberapa bulan menjadi lebih ambisius untuk mengurangi emisi. Begitu juga Amerika Serikat berjuang melalui Undang Undang.
Hal ini dinilai Fransesco sebagai penegasan bahwa sistem energi lama yang terpusat berbasis bahan bakar fosil sudah tidak mampu lagi mendukung pembangunan.
(ras/ras)