Jangan Tertipu! Subsidi BBM Indah di Awal, Pahit di Akhir

hadijah, CNBC Indonesia
Kamis, 01/09/2022 11:30 WIB
Foto: Ekonom senior, Faisal Basri saat menghadiri acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2019. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rakyat Indonesia telah lama terbuai dengan kebijakan subsidi energi, terlebih lagi subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Akibatnya, ketika harga minyak dunia naik, pemerintah selalu dihadapkan dengan opsi yang berat, mengalahkan rakyat atau menanggung beratnya anggaran APBN.

Seperti kisah yang tak berakhir, pemerintah sulit mencabut atau bahkan menghapus subsidi BBM. Negeri ini sudah kecanduan subsidi BBM.


Ekonom Senior Faisal Basri mengungkapkan Indonesia telah menyalurkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak bergabung sebagai anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada tahun 1962.

Saat itu, subsidi diberikan untuk meredam inflasi, membantu rakyat miskin, dan melaksanakan pelayanan umum.

Sejak itu, Faisal mengungkapkan kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia perlu merasakan manfaat langsung atas kepemilikan sumber daya alam minyak bumi oleh negara.

Selain itu, lanjutnya, BBM merupakan kebutuhan dasar yang harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

"Dengan penetapan harga BBM lebih murah dari nilai keekonomiannya, BBM diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpendapatan rendah (miskin)," ungkap Faisal dalam blognya, Minggu (28/8/2022).

Alih-alih membantu masyarakat miskin, subsidi BBM sebenarnya menimbulkan banyak 'penyakit' bagi ekonomi Indonesia. Menurut Faisal, subsidi bahan bakar minyak menimbulkan efficiency cost karena mengaburkan sinyal harga.

"Penetapan harga lebih rendah dari opportunity cost menimbulkan distorsi pada konsumsi dan keputusan investasi," katanya.

Faisal pun mencatat sejumlah dampak yang muncul akibat subsidi. Pertama, subsidi menimbulkan konsumsi berlebihan. Konsumsi berlebih dapat menyebabkan peningkatan permintaan, yakni mengurangi ekspor dan menambah impor.

"Dengan demikian, subsidi dapat menekan akun lancar (current account) dalam neraca pembayaran, sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah," beber Faisal.

Kedua, Faisal mengungkapkan efek subsidi BBM menyebar ke berbagai sektor, khususnya sektor padat energi, memengaruhi biaya produksi dan harga relatif barang yang diproduksinya.

Perubahan harga relatif akan memengaruhi daya saing relatif tiap-tiap barang di pasar dunia.

Selanjutnya, subsidi mengurangi kemampuan dan insentif investasi pada infrastruktur baru dan proses produksi.

Adapun, subsidi juga menyebabkan memburuknya situasi keuangan perusahaan energi milik negara dan mengakibatkan investasi berkurang.
"Sebagai contoh, karena harus mengelola program subsidi silang antar daerah dan konsumen, yang mengakibatkan kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terganggu," kata Faisal.

Menurutnya, kompensasi negara tidak selalu dapat menutupi kesenjangan antara biaya produksi dengan harga jual.

Alhasil, dia menilai PLN tidak dapat mendanai investasi baru, memperluas elektrifikasi di daerah pedesaan dan terkadang bahkan melakukan pemeliharaan standar. Efeknya adalah pengembangan kapasitas pembangkit berkurang dan sering terjadi pemadaman listrik.

Keempat adalah distorsi harga. Faisal menjelaskan distrosi harga dapat mengakibatkan kesalahan alokasi sumber daya dan pilihan investasi yang tidak efisien.

Dia menegaskan subsidi untuk jenis energi atau teknologi tertentu pasti akan merusak pengembangan dan komersialisasi sumber dan teknologi lain yang pada akhirnya mungkin menjadi lebih menarik secara ekonomi (dan juga lingkungan).

"Dengan demikian, subsidi dapat "mengunci" teknologi dengan mengesampingkan teknologi lain yang lebih menjanjikan."

Kelima, kata Faisal, distorsi harga energi mendorong substitusi input lain, baik modal dan tenaga kerja, dengan energi. Keenam, subsidi dapat menghambat persaingan usaha.

Faisal menjelaskan perusahaan energi milik negara, yang ditunjuk menjadi penyalur produk bersubsidi mendapatkan manfaat lebih dibandingkan produsen lain yang menjual produk non subsidi.

Terakhir, kebijakan subsidi mendorong korupsi dan penyelundupan produk bersubsidi ke negara tetangga atau ke sektor non-subsidi di mana harga jual lebih tinggi; menimbulkan biaya administrasi besar untuk pemantauan, mencegah dan menangani penyalahgunaan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengeluhkan soal subsidi BBM yang salah sasaran selama ini. Dia mengakui subsidi energi senilai Rp 520 triliun pada tahun ini sebagian besar dinikmati oleh orang kaya.

Menurut catatannya, sebanyak 89% solar dinikmati dunia usaha, sedangkan 11% lainnya dinikmati oleh rumah tangga.

Dari total segmen rumah tangga, ternyata 95% dinikmati rumah tangga mampu dan hanya 5% yang dinikmati rumah tangga miskin (petani dan nelayan). Sementara untuk pertalite sebaliknya, 14% dinikmati dunia usaha dan sebagian besar dinikmati oleh rumah tangga yakni 86%.

Dari segment rumah tangga, sebanyak 80% dinikmati rumah tangga mampu dan hanya 20% yang dinikmati rumah tangga miskin. Dengan demikian, kurang lebih 80% subsidi BBM 'dirampok' oleh golongan yang tidak berhak.

"Siapa yang menikmati anggaran subsidi ini? Dari data yang ada, ternyata, BBM bersubsidi lebih banyak dinikmati oleh golongan masyarakat yang lebih mampu. Anggaran subsidi jadi salah sasaran dan tidak adil. Bukan mengurangi kemiskinan, tapi justru menciptakan kesenjangan," tulis Sri Mulyani dalam Instagram @smindrawati, dikutip Kamis (31/9/22).

Akibat subsidi yang salah sasaran ini, kuota BBM Pertalite dan Solar tahun ini diperkirakan habis pada Oktober 2022.


(haa/haa)