Lapor Pak Jokowi! Ini Analisa 5 Ekonom Soal Kenaikan BBM
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah digadang-gadang akan menaikkan bahan bakar minyak (BBM) menjadi Rp 10.000 per liter, atau meningkat Rp 2.350 dari posisi saat ini Rp 7.650 per liter.
Awalnya, rencana kenaikan harga tersebut diungkapkan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Saat itu, dia mengungkapkan beban subsidi diproyeksikan membengkak hingga Rp600 triliun pada akhir tahun ini akibat tingginya harga energi.
Jika demikian, maka APBN 2022 tidak dapat menopang kenaikan harga yang terbilang cukup tinggi.
"Feeling saya sih harus kita siap-siap, kalau katakanlah kenaikan BBM itu terjadi," kata Bahlil beberapa waktu lalu.
Menjawab kasak kusuk kenaikan harga, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Irto Ginting mengatakan bahwa Pertamina saat ini masih menunggu arahan dari pemerintah.
"Ya kita tunggu arahan dari Pemerintah," katanya dikutip dari detikcom, Minggu (21/8/2022).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah tengah menyusun skema penyesuaian harga untuk mengurangi beban subsidi. Menurutnya, pemerintah akan sangat berhati-hati dalam mengeksekusi kebijakan ini.
"Pemerintah masih menghitung beberapa skenario penyesuaian subsidi dan kompensasi energi dengan memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat. tapi untuk diketahui harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding mayoritas negara di dunia," ujarnya (21/8/2022).
Untuk mengetahui apakah kebijakan kenaikan harga Pertalite tepat dilaksanakan di momen ini atau tidak, mari kita simak analisa dari lima ekonom terkait dengan isu yang tengah hangat tersebut.
1. Mohammad Faisal, CORE Indonesia
Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal menilai kebijakan untuk menaikkan harga Pertalite cukup menjadi dilema pemerintah, dimana jika harga dinaikkan sekitar Rp 2.000 per liter maka potensi kenaikan inflasi bisa 6-8%, dengan memperhitungkan dampaknya ke harga pangan.
"Sehingga dampaknya ke perekonomian jauh lebih berat, bebannya terhadap fiskal," ujar Fiasl dalam Profit CNBC Indonesia, Jumat (19/8/2022).
Namun, Faisal mengatakan pemerintah sebenarnya masih memiliki ruang fiskal untuk menghadapi kondisi ini.
Dari sisi fiskal, performa APBN hingga Juli 2022 tercatat masih surplus Rp73 triliun. Kondisi ini jauh berbeda dengan kondisi tahun lalu yang sampai bulan Juli 2021 yang defisit Rp270 triliun. Sementara itu, prediksi Kemenkeu sampai dengan akhir tahun defisit APBN sebesar 3,94%, jauh di bawah target 4,5%.
"Jadi sebetulnya ada ruang, kalau tadi kita perlu tambalan," paparnya.
Berdasarkan perhitungannya, jika Pertalite naik, berarti pemerintah harus menyiapkan kuota tambahan untuk tiga bulan (Oktober - Desember) senilai Rp50 triliun - Rp80 triliun. Adapun, defisit 3,94% tahun ini diperkirakan setara dengan Rp732 triliun. Jika ditambah dengan subsidi tambahan Rp80 triliun, maka defisit APBN tahun ini bisa mencapai 4,1%.
Angka ini masih di bawah target pemerintah yang dipatok 4,5%.
"Dari sisi defisit bertambah, tetapi masih di bawah target dari defisit fiskal," tegasnya.
2. Bhima Yudhistira, CELIOS
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan harga BBM jenis subsidi terutama Pertalite harus dicermati baik-baik oleh pemerintah.
"Apa kondisi masyarakat miskin saat ini siap hadapi kenaikan harga BBM, setelah inflasi bahan pangan [volatile food] hampir sentuh 11% secara tahunan per Juli 2022?," tegasnya, Senin (22/8/2022).
Tidak hanya itu, masyarakat kelas menengah rentan juga akan terdampak. Sebagai contoh, sebelumnya mereka kuat beli Pertamax, tapi sekarang mereka migrasi ke Pertalite dan kalau harga Pertalite juga ikut naik maka kelas menengah akan korbankan belanja lain.
Tadinya kelompok ini bisa belanja baju, beli rumah lewat KPR, hingga sisihkan uang untuk memulai usaha baru akhirnya tergerus untuk beli bensin.
"Imbasnya apa? Permintaan industri manufaktur bisa terpukul, serapan tenaga kerja bisa terganggu dan target-target pemulihan ekonomi pemerintah bisa buyar," ungkap Bhima.
Di sisi harga, jika inflasi menembus angka yang terlalu tinggi dan serapan tenaga kerja terganggu, Indonesia bisa menyusul negara lain yang masuk fase stagflasi.
"Imbasnya bisa 3-5 tahun recovery terganggu akibat daya beli turun tajam."
(mij/mij)