Internasional

Sudah Rekor 40 Tahun, Inflasi Inggris Diramal Terus Meroket

Maesaroh, CNBC Indonesia
18 August 2022 11:20
Harga BBM di Inggris
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Inggris terus melambung hingga menembus 10,1% (year-on-year/yoy) pada Juli, lebih tinggi dibandingkan 9,4% pada Juni. Inflasi Inggris diperkirakan belum akan mengendur dan akan menembus 15% pada awal tahun depan.

Inflasi Inggris terus melonjak setelah perang Rusia-Ukraina meletus pada Februari 2022. Pada Januari tahun ini, inflasi The Three Lions masih tercatat 5,5%. Angkanya kemudian melonjak hingga tercatat 9% pada April dan menembus dobel digit untuk pertama kalinya dalam 40 tahun terakhir pada Juli tahun ini.

Inflasi Juli yang menembus 10,1% adalah yang tertinggi sejak Februari 1982. Laju inflasi juga jauh melebihi ekspektasi pasar yang memperkirakan hanya mencapai 9,8%.

Kantor nasional statistik Inggris (ONS) menjelaskan sembilan dari 12 kategori pengeluaran mengalami lonjakan inflasi. Kelompok pengeluaran makanan, pakaian dan sepatu, restoran dan hotel, serta rekreasi dan budaya mengalami lonjakan inflasi yang sangat tajam pada Juli.

Inflasi InggrisFoto: Guardian
Inflasi Inggris

Inflasi pada perumahan dan utilitasnya mencapai 20%, rekreasi dan budaya mencapai 5,6%, makanan dan minuman non-alkohol mencapai 12,6%, sementara restoran dan hotel mencapai 8,9%.

Sementara itu inflasi inti -dikurangi inflasi makanan dan energi- tercatat 6,2% pada Juli atau naik dibandingkan 5,8% pada Juni.

"Supermarket tidak punya pilihan lain selain meneruskan kenaikan harga dari supplier ke konsumen. Produsen dan supplier sendiri harus berjuang keras karena lonjakan bahan baku dan ongkos produksi," tutur Kien Tan, Direktur Strategi Ritel PwC, kepada CNBC International.

Dia menambahkan lonjakan bahan baku juga membuat pabrik roti, susu, dan produk dairy lainnya pontang-panting. Pasalnya, harga terus melonjak sejak Maret lalu.

Inggris jarang sekali mencatatkan inflasi hingga dobel digit. Dalam 70 tahun terakhir, hanya tiga kali Negara Ratu Elizabeth mencatatkan inflasi dua digit, yakni periode Perang Korea pada 1951-1952, saat terjadi lonjakan harga minyak pada 1973-1977 dan periode 1979-1982.

Meski sudah melonjak tajam, inflasi Inggris diyakni belum mencapai puncaknya. Inflasi harga produsen mencapai 17% atau yang tertinggi dalam 45 tahun terakhir. Kenaikan IPP tersebut mengindikasikan bahwa inflasi Inggris masih memanas ke depan.

Bank sentral Inggris (BoE) pada awal Agustus lalu memperkirakan inflasi Inggris akan mencapai puncaknya pada Oktober mendatang yakni di kisaran 13%.

Namun, sejumlah pihak menilai proyeksi BoE terlalu optimis.

Ekonom Citi Group Benjamin Nabarro memproyeksikan inflasi paling tidak akan mencapai 15% pada awal tahun depan. Dia mengingatkan jika harga energi masih akan mendongkrak inflasi ke depan.

Seperti diketahui, harga energi Inggris diatur batas maksimalnya oleh Badan Pengawas Energi Inggris (Ofgem). Ofgem akan mengubah batas harga energi tiap tiga bulan.

"Dalam pandangan kami, tekanan masih akan berlanjut. Jika tidak ada campur tangan dari pemerintah, kami memperkirakan inflasia akn meningkat melebihi 15% pada kuartal I-2023," tutur Nabarro, seperti dikutip dari Reuters.

Produsen telah menaikkan harga energi sebesar 17,1% atau tertinggi sejak 1977. Kendati demikian, harga energi masih akan naik ke depan.

Harga energi yang dibayar ruma tangga Inggris saat ini berkisar 1.277- 1.971 pound sterling setahun atau sekitar Rp 22,6 -Rp 34,89 juta (kurs 1 pound sterling=Rp 17.7-3).

Analis industri energi Cornwall Insight memperkirakan rata-rata harga energi Inggris akan naik menjadi 3.582 pound sterling (Rp 63,41 juta) pada Oktober mendatang. Perkiraan tersebut 200 pound sterling lebih mahal dibandingkan proyeksi awal.

Harga energi pada Januari 2023 akan melonjak menjadi 4.266 pound sterling atau sekitar Rp 75,52 juta.

 

Kenaikan harga energi ini tentu saja akan semakin membebani masyarakat Inggris.

Dilansir dari The Guardian, masyarakat Inggris kini banyak yang berjuang keras karena lonjakan harga. Mereka mulai beralih ke produk yang lebih terjangkau untuk produk harian seperti keju, susu, dan roti.

Menyusul lonjakan inflasi, bank sentral Inggris telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 165 bps sejak Desember lalu, dari 0,1% menjadi 1,75%.

"Konsumen kini terjepit di antara kenaikan harga energi dan kebutuhan rumah tangga. Semua ini terjadi karena kurangnya kebijakan politik," tutur Dan Howe, head of investment dari Janus Henderson.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular