Kabar Buruk: Pesta Durian Runtuh Usai, Impor BBM Meledak!
Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus Indonesia menipis pada Juli 2022 dan diperkirakan akan semakin tergerus ke depan. Penurunan harga komoditas,pelemahan ekonomi global, serta lonjakan impor BBM menjadi faktornya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia pada Juli mencapai US$ 25,57 miliar. Nilai tersebut turun 2,20% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm) tetap masih melonjak 32,03% dibandingkan Juli 2021 (year on year/yoy).
Sementara itu, impor Juli tercatat US$ 21,35 miliar atau naik 1,64% (mtm) dan melonjak 39,86%.
Dengan demikian, neraca perdagangan pada Juli membukukan surplus sebesar US$ 4,23 miliar. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan Juni yang tercatat US$ 5,15 miliar.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan penurunan ekspor disebabkan oleh melandainya harga komoditas di pasar internasional. Secara bulanan, harga CPO sudah melandai 29,61% pada Juli, gas alam menyusut 5,4%, gandum turun 16,8%, dan nikel anjlok 16,3%.
Namun, batu bara masih menjadi penyelamat karena harganya melambung 7,6%.
"Perlu diwaspadai terkait adanya windfall komoditas yang menjadi andalan ekspor. Penurunan harga komoditas seperti CPO (menjadi) tanda berakhirnya windfall harga komoditas," tutur Setianto, dalam konferensi pers, Senin (15/8/2022).
Setianto menambahkan ekspor tahun ini yang sangat impresif lebih didorong oleh peningkatan harga komoditas ekspor. Secara volume, ekspor Indonesia cenderung stagnan. Kondisi ini membuat ekspor Indonesia rawan anjlok saat harga komoditas kembali normal.
Sebagai catatan, nilai ekspor Januari-Juli tercatat US$ 166,70 miliar, naik 36,36% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"Mengingat harga komoditas sudah menunjukkan penurunan maka perlu diwaspadai neraca perdagangan ke depan. Windfall dapat berakhir jika harga komoditas kembali pada kondisi normal, karena volume ekspor komoditas utama Indonesia cenderung stagnan," ujar Setianto.
Ekspor batu bara, misalnya, cenderung stagnan di kisaran 30-33,5 juta ton per bulan. Lonjakan ekspor batu bara lebih dipicu kenaikan harganya yang terus melambung akibat perang Rusia-Ukaina, krisis energy India, hingga persoalan pasokan gas di Eropa.
Ekspor CPO yang berkontribusi terhadap 15% nilai ekspor Indonesia juga hanya bergerak di kisaran 1,5-2 juta ton. Pengecualian terjadi pada Juli 2023 di mana ekspor mencapai 2,2 juta ton karena program flush out.
Ekspor feronikel juga stagnan di kisaran 0,4-1,5 juta ton sepanjang tahun ini padahal harga meloncat jauh pada Maret 2022.
Selain melandainya harga komoditas. Setianto mengingatkan perlambatan ekonomi mitra dagang Eropa mulai dari China, Jepang, hingga Amerika Serikat bisa berdampak besar terhadap kinerja ekspor.
(mae/mae)