Kabar Buruk: Pesta Durian Runtuh Usai, Impor BBM Meledak!

Maesaroh, CNBC Indonesia
15 August 2022 14:40
cpo, kelapa sawit
Foto: CPO (REUTERS/Samsul Said)

Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus Indonesia menipis pada Juli 2022 dan diperkirakan akan semakin tergerus ke depan. Penurunan harga komoditas,pelemahan ekonomi global, serta lonjakan impor BBM menjadi faktornya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor Indonesia pada Juli mencapai US$ 25,57 miliar. Nilai tersebut turun 2,20% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm) tetap masih melonjak 32,03% dibandingkan Juli 2021 (year on year/yoy).
Sementara itu, impor Juli tercatat US$ 21,35 miliar atau naik 1,64% (mtm) dan melonjak 39,86%.

Dengan demikian, neraca perdagangan pada Juli membukukan surplus sebesar US$ 4,23 miliar. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan Juni yang tercatat US$ 5,15 miliar.


Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan penurunan ekspor disebabkan oleh melandainya harga komoditas di pasar internasional. Secara bulanan, harga CPO sudah melandai 29,61% pada Juli, gas alam menyusut 5,4%, gandum turun 16,8%, dan nikel anjlok 16,3%.

Namun, batu bara masih menjadi penyelamat karena harganya melambung 7,6%.

"Perlu diwaspadai terkait adanya windfall komoditas yang menjadi andalan ekspor. Penurunan harga komoditas seperti CPO (menjadi) tanda berakhirnya windfall harga komoditas," tutur Setianto, dalam konferensi pers, Senin (15/8/2022).

Setianto menambahkan ekspor tahun ini yang sangat impresif lebih didorong oleh peningkatan harga komoditas ekspor. Secara volume, ekspor Indonesia cenderung stagnan. Kondisi ini membuat ekspor Indonesia rawan anjlok saat harga komoditas kembali normal.

Sebagai catatan, nilai ekspor Januari-Juli tercatat US$ 166,70 miliar, naik 36,36% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.


"Mengingat harga komoditas sudah menunjukkan penurunan maka perlu diwaspadai neraca perdagangan ke depan. Windfall dapat berakhir jika harga komoditas kembali pada kondisi normal, karena volume ekspor komoditas utama Indonesia cenderung stagnan," ujar Setianto.

Ekspor batu bara, misalnya, cenderung stagnan di kisaran 30-33,5 juta ton per bulan. Lonjakan ekspor batu bara lebih dipicu kenaikan harganya yang terus melambung akibat perang Rusia-Ukaina, krisis energy India, hingga persoalan pasokan gas di Eropa.

Ekspor CPO yang berkontribusi terhadap 15% nilai ekspor Indonesia juga hanya bergerak di kisaran 1,5-2 juta ton. Pengecualian terjadi pada Juli 2023 di mana ekspor mencapai 2,2 juta ton karena program flush out.
Ekspor feronikel juga stagnan di kisaran 0,4-1,5 juta ton sepanjang tahun ini padahal harga meloncat jauh pada Maret 2022.

Selain melandainya harga komoditas. Setianto mengingatkan perlambatan ekonomi mitra dagang Eropa mulai dari China, Jepang, hingga Amerika Serikat bisa berdampak besar terhadap kinerja ekspor.

Ekonomi China melambat menjadi 0,4% (yoy) pada kuartal II-2022 dari 4,8% pada kuartal I-2022. Ekonomi AS bahkan sudah terkontraksi dalam dua kuartal.

Ekspor non-migas Indonesia ke China sudah turun 1,27% pada Juli (mtm). Ekspor ke AS naik tipis 1,89% sementara ekspor ke India anjlok 10,3%.

Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana juga memperkirakan surplus makin menipis karena melandainya harga komoditas dan pertumbuhan ekonomi.

"Menipisnya neraca perdagangan akan mengurangi dukungan cadangan devisa bagi ketahanan ekonomi ke depan. Ini akan memberi tekanan kepada Bank Indonesia untuk menyesuaikan suku bunga acuan jika tekanan terus meningkat," tutur Wisnu, kepada CNBC Indonesia.

Surplus neraca perdagangan Indonesia juga makin tergerus oleh besarnya impor BBM serta meningkatnya permintaan dalam negeri.

Impor hasil minyak sepanjang Januari-Juli 2022 menembus US$ 14,38 miliar atau naik 97,71%. Sementara itu, impor minyak mentah mencapai US$ 6,42 miliar atau melesat 62,38%.

Volume impor BBM termasuk untuk bahan bakar pesawat dan diesel menyentuh 14,31 juta ton pada Januari-Juli 2022 atau naik 17,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Volume impor LPG menyentuh 3,9 juta ton atau naik 40,92%.


Impor hasil minyak melonjak tajam sejak Maret tahun ini atau pasca perang Rusia-Ukraina meletus pada akhir Februari lalu.
Pada periode Maret-Juli, rata-rata nilai impor hasil minyak mentah mencapai US$ 2,24 miliar per bulan . Padahal, pada empat bulan sebelum perang (November 2021-Februari 2022), nilai rata-rata impornya hanya US$ 1,73.

Nilai impor juga  terus merangkak naik dari US$ 2,15 miliar pada Mei menjadi US$ 2,27 miliar pada Juni, dan US$ 2,36 miliar pada Juli.

Untuk minyak mentah, impor nya sangat fluktuatif. Impor sempat melonjak tajam pada April karena persiapan Lebaran idul Fitri. Namun, angkanya tidak setinggi hasil minyak.

Kenaikan impor minyak mentah dan hasil minyak ini tentu saja akan membebani anggaran pemerintah mengingat sebagian besar komoditas tersebut akan diolah menjadi Pertalite yang harganya masih disubsidi.

Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan surplus neraca perdagangan diperkirakan mengecil karena tingginya permintaan domestik sejalan dengan pemulihan ekonomi.

Data BPS menunjukkan impor bahan baku/penolong melonjak 44,49% (yoy) pada Juli menjadi  US$ 16,7 sementara impor barang modal melesat 44,33% (yoy) pada Juli menjadi US$ 3,0. Kenaikan kedua kelompok barang tersebut tersebut adalah sinyal jika pemulihan ekonomi Indonesia akan terus berjalan.

"Impor diperkirakan terus menguat karena akselerasi pertumbuhan ekonomi domestik karena kenaikan permintaan dan pelonggaran mobilitas" ujar Andry.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular