Duh, Gusti... Tarif Ojol Naik, Apa-apa Naik...

Maesaroh, CNBC Indonesia
10 August 2022 14:27
Demo Buruh di DPR Tolak Undang-Undang Cipta Kerja
Foto: Sejumlah massa buruh melakukan aski di depan gedung DPR/MPR, Jakarta, Rabu (10/8/022). Dalam aksinya mereka mengibarkan bendera serta membentangkan atribut seperti poster dan spanduk bertulisan tuntutan pencabutan Undang-Undang Cipta Kerja. (CNBC Indonesia/ Tr5i Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Beban hidup pekerja Indonesia semakin berat. Selain lonjakan harga pangan dan sandang, pekerja kini harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tarif angkutan ojek online (ojol).

Lonjakan harga pangan, sandang, serta tarif jasa angkutan diperkirakan tidak bisa dikompensasi dengan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang rata-rata sebesar 1,09% pada tahun ini.

Seperti diketahui, kenaikan UMP sebesar 1,09% merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 36 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. PP tersebut mengganti formula penghitungan UMP lama yang memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Kecilnya kenaikan upah sementara di sisi lain harga barang terus melonjak tersebut memicu aksi demo buruh hari ini. Ribuan pekerja melakukan aksi demo di berbagai daerah hari ini, Rabu (10/8/2022), meminta pemerintah untuk membatalkan UU Cipta Kerja serta menstabilkan harga bahan pokok.

Dengan dibatalkannya UU Cipta Kerja maka perhitungan upah bisa dikembalikan ke formula semula yakni mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.




Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat mengatakan kenaikan UMP tahun ini tidak mencukupi untuk menutup lonjakan harga barang dan jasa. Dia menambahkan banyak dari pekerja yang kemudian mencari pekerjaan tambahan dengan berjualan ataupun pekerjaan lain demi memenuhi kebutuhan hidup.

"Banyak kawan-kawan yang menyiasati dengan mencari tambahan dengan berdagang atau lain. Tetapi karena daya beli masyarakat juga belum baik maka kurang berdampak," tutur Mirah, kepada CNBC Indonesia.

Mirah menambahkan jika lonjakan harga terus terjadi maka angka kemiskinan bisa meningkat. Pasalnya, banyak pekerja yang masuk ke kelompok masyarakat rawan miskin.

"Banyak pekerja akan miskin dan dalam jangka panjang kualitas hidup akan menurun," ujarnya.

Seperti diketahui, harga sejumlah bahan pangan melonjak drastis pada tahun ini, mulai dari minyak goreng, cabai, daging ayam, telur, hingga mie instan. Tidak hanya pangan, ongkos kebutuhan lain juga meningkat seperti pulsa dan harga baju. Harga dan tarif semakin mahal karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% sejak April tahun ini. 

Di tengah kenaikan harga pangan, pemerintah juga telah menaikkan tarif ojol untuk tiga zonasi termasuk Jabodetabek akan naik mulai 14 Agustus 2022 mendatang.

Untuk wilayah zona II yang meliputi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Bali, besaran tarif naik dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.600 per km untuk biaya jasa batas bawah. Sementara, untuk biaya jasa batas atas naik dari Rp 2.500 menjadi Rp 2.700 per km dan biaya jasa minimal dengan rentang biaya jasa antara Rp 13.000 s.d Rp 13.500.

Pemerintah juga telah dan akan menaikkan tarif untuk 30 ruas tol pada tahun ini. Termasuk di dalamnya adalah Jalan Tol Soreang-Pasir Koja dan Jalan Tol Pandaan-Malang yang naik pada kuartal II-2022.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran mengingatkan kenaikan harga pangan tidak hanya akan membebani pekerja, kelompok berpenghasilan rendah, tetapi juga UMKM.

"Kenaikan harga pangan akan sangat berdampak pada konsumsi pangan masyarakat, terutama mereka yang tergolong berpenghasilan rendah," tutur Hasran, dalam keterangan resmi.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) September 2021, rata-rata belanja makanan mengambil 49,3% dari rata-rata pengeluaran per kapita, meningkat sedikit dari 48,9% pada 2020.

Dengan proporsi yang besar tersebut, Hasran mengingatkan kenaikan harga pangan sangat mempengaruhi kemampuan rumah tangga Indonesia dalam memenuhi kebutuhan nutrisi hariannya. Dengan anggaran belanja terbatas, keluarga seringkali terpaksa mensubstitusi makanan berprotein tinggi dengan makanan karbohidrat yang lebih murah dan mengenyangkan, atau bahkan mengurangi porsi makan.

"Keputusan yang dilematis ini tanpa disadari berakibat panjang kepada kesehatan dan perkembangan manusia," imbuh Hasran.

Tak hanya pekerja dan keluarga, Hasran menambahkan usaha mikro kecil juga dirugikan oleh kenaikan harga pangan karena ongkos produksi akan bertambah dan hal tersebut menggerus pendapatan mereka.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular