Derita Pekerja RI: Gaji Naik Dikit, Habis Buat Sembako...

Maesaroh, CNBC Indonesia
09 August 2022 10:25
Kesibukan aktivitas pembeli dan pedagang di Pasar Tradisional Kranji, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 2/4. Jelang memasuki Ramadhan pada esok hari harga sayuran mengalami kenaikan. (Cnbc Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Kesibukan aktivitas pembeli dan pedagang di Pasar Tradisional Kranji, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 2/4. Jelang memasuki Ramadhan pada esok hari harga sayuran mengalami kenaikan. (Cnbc Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia menembus 4,94% (year on year/yoy) pada Juli tahun ini. Lonjakan inflasi tersebut dikhawatirkan akan menggerus upah pekerja yang hanya naik 1,09% pada 2022.

Seperti diketahui, pemerintah hanya menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar rata-rata 1,09% pada tahun ini. Kenaikan tersebut sangat rendah dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya yang berada di kisaran 8%. Peningkatan tipis UMP ini justru diberlakukan setelah pemerintah tidak menaikkan UMP pada 2021 karena pandemi Covid-19.

Pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi mengakui kenaikan UMP tahun ini memang terlalu kecil. Dia menjelaskan kenaikan UMP seharusnya minimal dua kali lebih tinggi dibandingkan laju inflasi tahun sebelumnya. Sebagai catatan, laju inflasi 2021 tercatat 1,89%.

"UMP harus menyesuaikan inflasi. Karena secara teoritis kalau inflasi naik maka nilai uang akan turun. Rumus yang dipakai sekarang keliru dan tambah rumit. Saya tidak tahu hitungannya bisa keluar angka segitu karena UMP bisa di bawah inflasi. Ini tidak masuk akal," tutur Tadjuddin, kepada CNBC Indonesia.



Tadjuddin mengingatkan kenaikan UMP seharusnya bisa menjaga daya beli sehingga pertumbuhan akan naik. Terlebih, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 51% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

"Kalau kenaikan UMP di bawah UMP ya daya beli tergerus. Makin banyak barang yang tidak terbeli. Inflasi sudah 4,94% sementara UMP naik 1,09%, artinya pendapatan berkurang 3%," imbuhnya.

Seperti diketahui, mulai 2022, perhitungan kenaikan UMP merujuk pada Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Formula baru tersebut menghitung kenaikan UMP dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Sejumlah variabel digunakan untuk perhitungan seperti paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.

Perhitungan tersebut menggantikan formula lama di mana kenaikan UMP ditetapkan berdasarkan upah tahun berjalan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi.

Dengan menghitung pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi tahun sebelumnya, kenaikan UMP pada 2017-2020 berkisar 8,03-8,51%. Kenaikan UMP pada 2014-2015, kenaikan UMP mencapai double digit.


Berdasarkan ketentuan
peraturan baru pengupahan, UMP DKI Jakarta pada 2022 ditetapkan sebesar Rp 4.453.935 atau naik 0,85% sebesar Rp 37.750. Kenaikan tersebut ada di bawah kenaikan nasional (1,09%). kenaikan juga di bawah angka pertumbuhan ekonomi Jakarta pada 2021 yang mencapai 3,56% serta laju inflasi 2021 yang tercatat 1,53%.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memperbaharui batas UMP baru menjadi Rp 4.641.854. Namun, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kemudian membawa keputusan UMP baru tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN sendiri sudah memutuskan UMP DKI Jakarta 2022 tetap merujuk pada keputusan awal yakni Rp 4.573.845.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek),Mirah Sumirat mengatakan kenaikan UMP sesuai PP No 36 jelas tidak mencukupi. Dia juga mengingatkan kenaikan UMP dengan formula tersebut mengabaikan 64 komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL)yang seharusnya masuk dalam perhitungan UMP.

"Kenyataannya harga barang bahan pokok itu naik terus. Kenaikan UMP tidak bisa mengimbangi kenaikan harga tersebut. Ini membuat daya beli rapuh dan kemiskinan bisa melonjak," ujar Mirah, kepada CNBC Indonesia.

Dalam catatan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga bahan pangan melonjak drastis pada tahun ini. Harga minyak goreng curah menyentuh Rp 18.000-20.000 per kg pada Maret-Juni, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) nya di Rp 14.000 per liter,

Harga daging ayam ada di kisaran Rp 38.000-40.000 per kg sepanjang Mei-Juni padahal pada Maret masih ada di kisaran Rp 36.000 per kg. Harga cabai rawit ada di kisaran Rp 80.000-100.000 per kg pada Juni-Juli. Harga tersebut dua kali lipat lebih mahal dibandingkan harga normal di kisaran Rp 40.000-50.000.

Di luar komoditas pangan, tariff atau harga kebutuhan dasar seperti sandang dan pulsa telpon juga naik karena kenaikan  Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% dari semula 10% sejak April tahun ini.

Baik Tadjuddin dan Mirah berharap pemerintah meningkatkan penyaluran bantuan sosial (bansos) untuk mengurangi beban kelompok masyarakat miskin di tengah gempuran inflasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat garis kemiskinan makanan menyumbang 75% terhadap angka kemiskinan. Jika harga bahan pangan terus naik maka semakin besar pengeluaran kaum miskin hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar berupa makanan.

"Pemerintah harus tambah bansos agar masyarakat terbantu. Harga barang naik Rp 3.000 itu sudah sangat terasa bagi masyarakat miskin," ujar Tadjuddin.

Mirah mengatakan pemerintah tidak mungkin menaikkan UMP di tengah tahun. Karena itulah menambah bansos menjadi hal yang wajib agar angka kemiskinan tidak semakin melonjak.

"Perbaiki juga data penerima bansos. Jangan sampai bansos malah jatuh ke tangan yang salah. Banyak pekerja yang di PHK malah tidak bisa mendapatkan kartu pra-kerja dan bantuan. Padahal, mereka belum bangkit dari pandemi,"ujarnya.

Dia juga berharap pemerintah tidak mencabut subsidi untuk barang-barang yang dikonsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah, seperti Elpiji 3 kg dan Pertalite.
"Jangan coba-coba menghilangkan subsidi BBM dan listrik. Itu (pencabutan subsidi) akan semakin berat bagi pekerja," imbuhnya.

 

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular