Dilema PETI Indonesia, Jangan Di-peti es-kan!
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alam. Alih-alih dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, masih banyak tambang mineral nasional yang berakhir menguap di kantong-kantong tak resmi.
Sektor pertambangan itu unik. Berbeda dari sektor lainnya seperti pertanian, kehutanan, manufaktur, dan jasa yang bisa diproduksi massal dan berulang, sektor ini memiliki masa kadaluwarsa. Ia tak bisa digantikan sehingga bakal habis.
Itulah mengapa pemerintah sangat galak dan "posesif" jika bicara tambang, baik mineral maupun energi, dengan mengaturnya secara jelas dalam konstitusi. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
Alasan fundamental atas sikap posesif itu juga digariskan dalam konstitusi yakni "dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat." Artinya, seseorang atau perusahaan dilarang mengklaim sumber daya alam (SDA) sebagai miliknya dan mengelolanya.
Negara baru memberikan hak pengelolaan kepada mereka melalui 'Izin Usaha Pertambangan' (IUP) dan IUP Khusus (IUPK), agar manfaat tambang bisa berujung pada penerimaan negara dan aktivitas penambangannya bisa terpantau guna menekan ekses buruk terhadap lingkungan.
Namun sayang sekali, negeri yang bisa dibilang sebagai surga penambangan ini juga menjadi "surga pelanggaran", dengan maraknya aktivitas penambangan ilegal alias Pertambangan Tanpa Izin (PETI).
PETI dimaknai sebagai kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh seseorang atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) per kuartal III-2022, terdapat lebih dari 2.700 lokasi PETI di Indonesia, terutama di Provinsi Sumatera Selatan. Dari jumlah tersebut, PETI Mineral mencapai 2.645 titik sementara PETI batubara terdapat di 96 titik.
Namun, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menyebutkan terdapat sekitar 8.683 titik lokasi terbuka yang diduga sebagai tambang ilegal yang luasnya 500.000 hektare (ha).
"PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu konflik horisontal di masyarakat," kata Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM Sunindyo Suryo Herdadi dalam siaran persnya.
Selain itu, lanjut dia, PETI juga mengabaikan kewajiban terhadap Negara dan masyarakat sekitar. "Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat," ujar Sunindyo.
HALAMAN 2>>
(ags/ags)