Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas dunia mulai menukik pada kuartal II/2022 tidak secepat awal tahun ini. Pada Maret, harga komoditas dunia kompak melesat, mengukir harga tertinggi sepanjang masa. Serangan Rusia ke Ukraina jadi faktor penyebabnya.
Konflik yang pecah di Eropa Timur kemudian berdampak pada sanksi terhadap Kremlin. Rusia kemudian 'dikucilkan' dari sistem keuangan dunia, yang secara tidak langsung menghambat ekspor produk-produk dari Rusia.
Masalahnya ekspor andalan Rusia adalah komoditas. Sehingga pasokan jadi seret. Ditambah langkah Amerika Serikat memboikot migas Rusia menambah pelik rantai pasokan komoditas dunia.
Di tengah kekhawatiran pasokan tersebut harga komoditas melejit tinggi. Menciptakan rekor-rekor tertinggi sepanjang masa.
Ada dua penyebab utama yang membuat harga komoditas kemudian melandai. Pertama, konsumen utama komoditas dunia, China, harus lockdown akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).Saking dominannya, permintaan hasil alam dunia China mampu menggerakkan harga global.
Kedua, kenaikan suku bunga bank sentral AS, Federal Reserves/The Fed. Kenaikan suku bunga dipandang para pelaku pasar dapat menimbulkan resesi, yang kemudian mempengaruhi daya beli. Ujung-ujungnya permintaan akan komoditas akan berkurang. Efek lainnya adalah dolar yang melambung membuat harga komoditas menjadi mahal.
Gerak komoditas yang melandai tercermin pada indikator harga dan pasokan komoditas yang dirilis S&P Global. Tekanan harga komoditas mulai berkurang terhadap industri manufaktur dan transportasi.
Perlu diketahui, komoditas adalah bahan baku utama di manufaktur dan transportasi. Seperti batu bara untuk listrik dan minyak mentah dalam industri transportasi.
"Data terbaru menunjukkan tanda-tanda tentatif bahwa harga global dan tekanan pasokan mungkin telah mencapai puncaknya pada Mei. Laporan harga yang lebih tinggi berada di level terendah selama tiga bulan, meskipun tetap lima kali di atas level biasanya. Barang-barang listrik dan semikonduktor tetap di antara yang terkena dampak terburuk, sementara laporan biaya pengiriman yang lebih tinggi diperparah oleh pembatasan ketat COVID-19 di Cina daratan." Ujar Usamah Bhatti, Global Market Intelligence S&P.
Turunnya harga komoditas tentunya akan berpengaruh terhadap APBN Indonesia baik pendapatan maupun pengeluaran.
Secara umum dari sisi pendapatan APBN berpotensi bertahan atau bahkan bisa bertumbuh. Sebab batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO) sebagai komoditas ekspor andalan Indonesia masih terus mengalami pertumbuhan ekspor yang bisa menambah pundi-pundi kantong APBN.
Boikot batu bara Rusia oleh negara-negara Eropa membuat Indonesia dilirik sebagai eksportir utama batu bara dunia. Pun karena ketatnya pasokan gas Eropa jelang musim dingin. Memungkinkan pesanan masuk ke Indonesia. Beberapa negara sudah menunjukkan ketertsarikan membeli batu bara Indonesia seperti Jerman, Polandia, dan Belanda.
Sementara itu dari Asia ada India dan Jepang yang juga berpotensi membeli batu bara Indonesia lebih banyak. Sebab India saat ini sedang diterpa gelombang panas sehingga kebutuhan listrik untuk pendingin akan besar.
Lalu Jepang yang ikut negara barat menghentikan pembelian batu bara dari Rusia juga akan menguntungkan Indonesia. Rusia sendiri merupakan negara pemasok batu bara Jepang terbesar ketiga setelah Indonesia dan Australia.
Selain itu harga batu bara dunia hingga saat ini tetap tinggi yakni di US$ 410,75/ton. Kinerja harga komoditas sepanjang 2022 pun cemerleng dengan 170,68% ptp.
 Foto: BPS Ekspor Batu Bara |
Hingga Juni 2022 ekspor batu bara Indonesia tercatat SU$ 4,56 miliar, melansir data Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah tersebut naik 3,27% dari Mei dan 136,63% dibandingkan periode yang sama pada 2022.
Keuntungan Indonesia dari krisis gas dan konflik di Eropa makin terasa setelah ekspor batu bara ke Benua Biru mencapai US$ 191,2 juta pada kuartal II-2022. Nilainya naik 143,72% secara point-to-point dibanding periode yang masa tahun lalu.
Sektor batu bara adalah penyumbang terbesar pendapatan negara dari pajak sektor pertambangan. Realisasi pad Mei 2022 mencapai 48,98% dari seluruh penerimaan sektor pertambangan. Sementara sektor pertambangan sendiri berperan terhadap 10,1% penerimaan pajak sektoral.
 Foto: BPS Ekspor Batu Bara ke Eropa |
Kemudian pendapatan dari sektor minyak mentah sawit tampaknya masih bisa terjaga meskipun harga komoditasnya telah turun hingga 23,78% ptp sepanjang 2022.
Mengacu data BPS, ekspor CPO Indonesia pada Juni melonjak 862,66% dbandingkan Mei dan naik 89,3% jika dibandingkan Juni 2021.
 Foto: BPS Ekspor CPO |
Sawit yang sudah boleh kembali diekspor menjadi salah satu pendorong melonjaknya nilai ekspor sawit Indonesia. Kebijakan ini juga yang bisa menjadi pendorong pendapatan negara dari sektor sawit.
Selain itu masih tingginya harga minyak nabati lainnya seperti rapeseed, biji bunga matahari, dan minyak kedelai menjadi pendorong konsumsi minyak sawit sebagai bahan konsumsi.
Pada Mei, penerimaan bea dan cukai dari CPO tumbuh 40,12% dibanding Mei 2021 tetapi turun 56,62% dari April 2022 karena larangan ekspor. Namun jika melihat ekspor dibuka pendapatan bea dan cukai dari CPO bisa meningkat lagi.
Nikel juga mengalami nasib yang sama, di mana harga komoditasnya telah turun 56% dari harga pundaknya pada Mei lalu.
Akan tetapi, pendapatan negara dari iuran produksi/royalti pertambangan nikel mencapai Rp 4,18 triliun atau tumbuh 110,52% dibanding tahun lalu. Perkembangan kontribusi dari royalti nikel dalam menyumbang PNBP sejak tahun 2019 menunjukkan peningkatan yang signifikan.
 Foto: Kementerian Keuangan APBN Kita |
Harga minyak yang turun sebenarnya bisa meringankan belanja negara karena berpengaruh terhadap belanja subsis bahan bakar.
Namun jika harga minyak mentah dunia turun signifikan, misalnya ke posisi US$ 50-60 per barel. Sebagai catatan, ICP per Juni sebesar US$ 117,54 per barel, tertinggi sejak 10 tahun
Harga minyak mentah Indonesia yang masih tinggi masih akan membebani subsidi yang ditanggung oleh APBN.
Realisasi belanja subsidi sampai dengan akhir Mei 2022 mencapai Rp75,41 triliun atau 36,44% dari pagu APBN 2022, atau meningkat 33,25% yoy.
Realisasi belanja subsidi tersebut meliputi subsidi energi sebesar Rp60,78 triliun (naik 19,38 % (yoy)) dan subsidi nonenergi sebesar Rp14,63 triliun (naik 157,65% secara yoy). Realisasi belanja subsidi energi bersumber dari subsidi BBM dan LPG Tabung 3 Kg yang mencapai Rp45,13 triliun (58,19% dari pagu APBN 2022), atau meningkat 56,61% yoy.
Realisasi subsidi BBM dan LPG 3 Kg tersebut digunakan untuk pembayaran subsidi pada tahun berjalan sebesar Rp34,95 triliun (meningkat 49,74% yoy ) serta pembayaran atas kurang bayar tahun sebelumnya sebesar Rp10,17 triliun
TIM RISET CNBC INDONESIA