
Jurang Resesi Makin Dekat! Ini Bukti Barunya...

Jakarta, CNBC Indonesia - Berbagai perkembangan terkait report perekonomian global semakin menebar kekhawatiran. Sinyal resesi semakin kuat pasca sebelumnya OECD melaporkan inflasi Mei mencapai 9,6% year-on-year(yoy) ditambah lagi dengan rilis Composite Leading Indicator/CLI negara OECD melemah.
CLI, yang dirancang untuk mengantisipasi titik balik dalam kegiatan ekonomi relatif terhadap tren selama enam hingga sembilan bulan ke depan, terus menandakan pertumbuhan yang kehilangan momentum di sebagian besar ekonomi utama dan di wilayah OECD.
CLI untuk Amerika Serikat (AS) saat ini menandakan pertumbuhan yang kehilangan momentum. Sementara di Inggris Raya, Kanada, dan kawasan euro secara keseluruhan, termasuk Jerman, Prancis, dan Italia.
CLI terus mengantisipasi kehilangan momentum pertumbuhan yang dipicu oleh inflasi yang tinggi, kepercayaan konsumen yang rendah, dan penurunan harga saham. Di Jepang, CLI terus menunjukkan pertumbuhan yang stabil.
Di antara ekonomi pasar berkembang utama, pertumbuhan diperkirakan akan kehilangan momentum di China (sektor industri) dan melambat di Brasil. Di India, CLI menunjukkan pertumbuhan yang stabil.
Ketidakpastian yang sedang berlangsung terkait dengan perang di Ukraina dan Covid-19 menghasilkan fluktuasi komponen CLI yang lebih tinggi dari biasanya. Akibatnya, indikator harus ditafsirkan dengan hati-hati dan besarnya harus dianggap sebagai indikasi kekuatan sinyal daripada sebagai ukuran pertumbuhan kegiatan ekonomi. Indikator utama untuk sebagian besar negara OECD terus menunjukkan pertumbuhan kehilangan momentum.
Negara | Composite Leading Indicators | ||||
Feb | Mar | Apr | May | Jun | |
Negara OECD | 100.3 | 100.1 | 99.9 | 99.7 | 99.5 |
Negara Eropa | 100.3 | 100 | 99.8 | 99.5 | 99.3 |
China, India, Indonesia, Jepang, Korea | 99.3 | 99.2 | 99.2 | 99 | 98.8 |
Kanada | 100.2 | 100 | 99.9 | 99.7 | 99.6 |
Prancis | 99.6 | 99.3 | 99 | 98.7 | 98.5 |
Jerman | 100.6 | 100.3 | 100 | 99.8 | 99.6 |
Italia | 100.3 | 99.8 | 99.5 | 99.3 | 99 |
Jepang | 100.5 | 100.6 | 100.6 | 100.6 | 100.6 |
Inggris | 100.3 | 99.8 | 99.3 | 98.9 | 98.6 |
Amerika Serikat | 100 | 99.8 | 99.7 | 99.5 | 99.4 |
Negara-negara OECD diperkirakan akan mengalami resesi dalam waktu dekat. Resesi terjadi akibat dari perlambatan ekonomi, pengetatan kebijakan fiskal dan moneter, serta lonjakan biaya hidup.
Tertekannya kondisi finansial, krisis energi, hingga pangan berujung pada kekhawatiran resesi. Stagflasi adalah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan bahkan turun, dibarengi dengan inflasi yang tinggi.
Pasca perang yang terjadi anatara Rusia-Ukraina akan mengancam pemulihan ekonomi global yang sedang berlangsung setelah dua tahun pandemi. Harga energi dan pangan melonjak karena dua negara ini merupakan pengekspor komoditas besar. Kondisi ini membuat hidup lebih sulit bagi banyak orang di seluruh dunia.
Kedalaman resesi akan berbeda di masing-masing negara. Amerika Serikat diperkirakan akan mengalami resesi yang cukup dangkal tetapi dalam jangka waktu yang lebih panjang. Resesi di AS diperkirakan bisa bertahan hingga lima kuartal, mula dari kuartal IV-2022.
Sebagai catatan, ekonomi AS terkontraksi 1,6% pada kuartal I tahun ini. Di sisi lain, inflasi Paman Sam melambung hingga 8,6% pada Mei 2022 , yang menjadi rekor tertinggi sejak Desember 1981.
Kawasan Uni Eropa diperkirakan akan mengalami resesi yang lebih dalam dibandingkan AS jika Rusia memangkas sepenuhnya pasokan gas ke kawasan tersebut. Nomura memperkirakan ekonomi AS dan kawasan Uni Eropa akan terkontraksi sebesar 1% pada 2023. Negara di kawasan Eropa kemungkinan akan mengalami kontraksi ekonomi pada semester kedua tahun ini. Resesi kemungkinan akan berlanjut hingga musim panas 2023.
Pertumbuhan akan jauh lebih lemah dari yang diharapkan di hampir semua negara. Eropa yang paling terpukul karena sangat rentan terhadap konflik di Eropa Timur karena impor energi dan arus pengungsi.
Sekadar informasi, gas Rusia banyak mengalir ke Eropa dengan besaran 167,7 miliar meter kubik pada tahun 2020. Jumlah ini setara 37,5% total impor gas alam Eropa.
Resesi Eropa, terutama dipicu oleh kenaikan harga energi. Ketergantungan Eropa terhadap pasokan energi dari Rusia melambungkan inflasi di kawasan tersebut mencapai rekor tertingginya dalam puluhan tahun.
Di kawasan Eropa, inflasi tahun-ke-tahun utama yang diukur dengan Harmonized Index of Consumer Price (HICP) naik menjadi 8,1% pada Mei 2022, dibandingkan dengan 7,4% pada April. Peningkatan yang mencolok diamati di Prancis dan Italia, sementara inflasi diperkirakan melambat di Jerman. Pertumbuhan ekonomi global akan diproyeksikan melemah.
Resesi diperkirakan akan terjadi dalam waktu dekat akibat negara-negara dengan perekonomian "raksasa" tengah menghadapi inflasi yang tinggi, daya beli masyarakatnya pun tergerus. Untuk diketahui, belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).
Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.
"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bukti Baru! Horor Inflasi Makin Ngeri, Siap-siap Resesi...