Harga 'Sembako' Dunia Turun, Tapi Masih Mahal! Awas Kelaparan

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
11 July 2022 14:38
FAO makanan
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Berdasarkan laporan Food Agriculture Organization (FAO) pada Jumat (8/7/2022) indeks harga pangan dunia masih berada pada level tinggi. Pada Juni 2022, Indeks harga pangan dunia rata-rata mencapai 14,2 poin. Turun 3,7 poin atau 2,3% jika dibandingkan bulan sebelumnya.

Juni ini merupakan penurunan bulan ketiga berturut-turut setelah sempat mencapai pada level tertingginya pada Maret 2022. Indeks Harga Pangan Dunia rata-rata mencapai 159,3 poin pada Maret 2022, naik 17,9 poin atau 12,6% dibanding Februari 2022, melompat ke level tertinggi baru sejak tahun 1990.

Meskipun tercatat turun, indeks harga pangan masih tercatat pada level tertinggi sejak November 2020 dan terus mencatatkan peningkatan.

Indeks Harga Pangan Dunia FAO merupakan ukuran perubahan harga komoditas pangan pokok di skala internasional, yang mencakup harga serealia, minyak nabati, produk susu, daging, dan gula.

Pada Juni 2022, faktor pendorong kenaikan indeks harga paling tinggi terjadi pada komoditas minyak nabati atau minyak sayur dengan rata-rata 211,8 poin, turun 17,4 poin atau 6,6% dari bulan sebelumnya.

Penurunan ini dipicu oleh penurunan harga pada minyak sawit, bunga matahari, kedelai, dan lobak. Harga minyak sawit internasional turun 3 bulan berturut-turut hingga juni. Harga komoditas unggulan ekspor Indonesia, yakni minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) anjlok minggu ini seiring dengan melemahnya harga minyak mentah dunia.

Harga kontrak CPO berjangka di Bursa Malaysia terpantau turun 11,7% dalam seminggu terakhir ke MYR 4.517/ton. Pelemahan harga CPO sebenarnya sudah terjadi sejak minggu kedua bulan Juni lalu. Salah satu pemicu pelemahan harga CPO adalah kenaikan stok Indonesia di bulan Juni 2022.

Di sisi lain, kebijakan Indonesia untuk kembali mendorong ekspor minyak sawit juga turut membuat harga turun. Sepanjang bulan ini, harga CPO telah anjlok 33,06%, meskipun masih naik 6,81% secara tahunan tapi keuntungan tersebut kian tergerus karena harga CPO mengalami tren bearish selama empat pekan beruntun.

Sementara itu, kuotasi harga bunga matahari dan kedelai dunia juga menurun, terkait dengan permintaan impor global yang masih lemah akibat kenaikan biaya yang diamati dalam beberapa bulan terakhir. Dalam kasus minyak rapeseed, selain penjatahan permintaan, harga internasional melemah karena kedatangan pasokan tanaman baru yang sudah dekat.

Faktor kedua pendorong kenaikan indeks harga pangan dunia bulan Juni dipicu oleh harga sereal dengan rata-rata 166,3 poin, tercatat turun 7,2 poin atau 4,1% dibandingkan Mei 2022. Namun masih tinggi 36 poin atau 27,6% jika dibandingkan juni 2021.

Setelah sempat mencapai level mendekati rekor tertinggi pada Mei lalu, harga gandum turun 5,7% di bulan Juni, namun masih naik 48,5% secara yoy.

Penurunan pada bulan Juni dipicu oleh ketersediaan musiman dari panen terbaru di belahan bumi utara, perbaikan kondisi panen di beberapa produsen utama, termasuk Kanada, prospek produksi yang lebih tinggi di Federasi Rusia, dan permintaan impor global yang lebih lambat. Harga biji-bijian kasar internasional turun sebesar 4,1% di bulan Juni, tetapi masih melesat 18,4% dari tahun sebelumnya.

Sementara, adanya kekhawatiran atas prospek permintaan di tengah tanda-tanda perlambatan ekonomi menambah tekanan ke bawah. Di antara biji-bijian kasar lainnya, harga sorgum dan barley turun di bulan Juni masing-masing sebesar 4,1% dan 6,1%.

Kondisi tersebut seiring dengan penurunan harga jagung dan gandum. Permintaan yang kuat untuk beras Indica dan basmati, ditambah dengan menipisnya ketersediaan basmati, membuat harga beras internasional naik di bulan Juni.

Faktor pendorong kenaikan indeks harga pangan dunia yang ketiga dipicu oleh produk susu. Rata-rata 149,8 poin, naik 5,9 poin atau 4,1% dari Mei yakni 29,9 poin atau 24,9%.

Pada bulan Juni, harga internasional semua produk susu meningkat. Kuotasi untuk keju naik paling tinggi, didukung oleh lonjakan permintaan impor untuk pasokan spot di tengah kekhawatiran pasar atas ketersediaan pasokan di akhir tahun.

Gelombang panas awal musim panas semakin membebani produksi susu di Eropa. Harga susu bubuk dunia meningkat karena permintaan impor yang kuat, ketatnya pasokan global yang terus-menerus dan tingkat persediaan yang rendah.

Faktor keempat diikuti dengan kenaikan indeks harga daging yang rata-ratanya mencapai 124,7 poin pada Juni. Naik 2,1 poin atau 1,7% dari bulan sebelumnya. Kondisi ini dipicu oleh kenaikan harga semua jenis daging. Di mana harga unggas meningkat tajam ditambah lagi dengan pasokan global yang ketat akibat perang Rusia-Ukraina serta wabah avian influenza alias flu burung di Belahan Bumi Utara.

Harga daging sapi juga ikut naik tipis dipicu oleh China mencabut pembatasan impornya untuk pembelian dari Brasil. Sementara itu, harga daging babi sedikit pulih karena impor yang lebih tinggi oleh beberapa importir utama, di tengah berlanjutnya pembelian yang rendah oleh China. Harga daging ovine internasional juga bangkit kembali pada volume ekspor yang lebih rendah dari Selandia Baru, meskipun permintaan yang lemah dari Asia Utara.

Terakhir yakni indeks harga gula dengan rata-rata 117,3 poin pada Juni. Angka ini tercatat turun 3,1 poin atau 2,6% dari Mei. Gula tercatat telah turun selama 2 bulan berturut-turut dan telah mencapai level terendah sejak Februari.

Perlambatan pertumbuhan ekonomi global membebani permintaan gula internasional dan kuotasi harga pada bulan Juni. Dari sisi penawaran, prospek ketersediaan global yang baik terus memberikan tekanan pada harga.

Lonjakan harga pangan tentunya memicu krisis pangan yang berkepanjangan di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi termasuk Indonesia. Pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina mengakibatkan jutaan warga dunia terdampak kelaparan, terancam krisis pangan akut, hingga kekurangan gizi. Salah satunya akibat tingginya harga pangan tersebut.

FAO memperkirakan perang Rusia akan membuat kerawanan pangan melebar dan bencana kelaparan meningkat. Sekitar 50 juta orang di 45 negara diperkirakan hidup dalam kondisi mendekati bencana kelaparan akut.

Saat ini, juga diperkirakan ada 345 juta warga dunia yang menderita kurang makan akut dan menuju jurang kelaparan. Angka tersebut naik 25% dibandingkan perkiraan yang dihitung pada awal perang Rusia-Ukraina akhir Februari lalu. Angka tersebut juga meningkat pesat dibandingkan 135 juta sebelum pandemi Covid-19.

Presiden Joko Widodo juga telah berulang kali memperingatkan akan krisis pangan.

"Di Afrika dan beberapa negara di Asia sudah mulai yang namanya kekurangan pangan akut, sudah mulai yang namanya kelaparan. Bayangkan," kata Jokowi, pada pengarahan dalam Puncak Hari Keluarga Nasional ke 29 di Medan yang disiarkan secara live melalui Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (7/7/2022).

Meskipun dalam pidatonya Jokowi mengatakan masyarakat Indonesia harus bersyukur karena komoditas pangan strategis nasional tetap terjaga, kenyataannya Indonesia juga tidak lepas dari dampak panjang akibat krisis pangan.

Oleh sebab itu, Indonesia mengajak kerja sama global untuk mengatasi krisis yang tengah mengancam. Mulai dari lonjakan harga energi hingga komoditas pangan, di tengah upaya pemulihan pascapandemi Covid-19.

Kemampuan ekonomi Indonesia tetap bisa tumbuh 5,1% pada triwulan-I tahun 2022 diharapkan bisa menjadi modal untuk mendorong kolaborasi bangkit bersama.

"Indonesia meminta dukungan anda untuk memastikan dunia pulih bersama, sehingga kita semua dapat berdiri lebih kuat menghadapi tantangan ke depan," kata Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat membuka Pertemuan Sherpa ke-2 di Labuan Bajo secara virtual, Minggu (10/7/2022).

Airlangga menyoroti 5 tantangan utama pemulihan global. Dan mengajak negara-negara G20 bertindak bersama. Ada lima tantangan memicu The Perfect Storm tersebut, ujarnya, Covid-19, Conflict, Climate Change, Commodity Price, serta Cost of Living. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular