Terungkap! Ini Penyebab Karut-Marut Sawit Makin Kusut

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
08 July 2022 12:50
Warga membeli minyak goreng kemasan rakyat (Minyakita) di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Kementerian Perdagangan meluncurkan produk minyak goreng curah kemasan Minyakita, yang masuk ke dalam program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR) seharga Rp 14.000/liter. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Warga membeli minyak goreng kemasan rakyat (Minyakita) di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Kementerian Perdagangan meluncurkan produk minyak goreng curah kemasan Minyakita, yang masuk ke dalam program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR) seharga Rp 14.000/liter. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, rumitnya permasalahan di minyak goreng jika dibandingkan gula dipicu cara pemerintah menyikapi harga.

"Dalam konteks ini harga acuan disebut juga harga maksimum psikologis, tingkat harga yang ditargetkan pemerintah berlaku di konsumen, disebut juga HET. Jika acuan maksimum itu terlampaui, pemerintah lakukan operasi pasar, biasanya melalui Bulog," kata Tungkot kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (8/7/2022).

Dia menambahkan, ada beberapa produk yang ditetapkan HET-nya. Seperti gula, beras, migor curah. 

"Jadi secara prinsip sama. Yang berbeda, HET migor dipaksa dicapai dengan DMO dan DPO sehingga tak efektif. Seharusnya jika HET minyak goreng target pemerintah Rp14.000, jika tak tercapai ya pemerintah operasi pasar. Dengan dana sawit, tugaskan Bulog beli minyak goreng curah dalam volume tertentu dan distribusikan ke pasar pasar ritel. Ini yang tidak dilakukan pemerintah," kata Tungkot.

Memang, sengkarut minyak goreng belum juga mereda hingga saat ini. Meski harga minyak goreng curah sudah melandai ke kisaran Rp 15 ribuan per liter, namun penurunan tersebut cenderung lambat menuju target pemerintah dengan eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kg.

Di sisi lain, jika dibandingkan medio Maret 2022, tercatat harga minyak goreng dalam kemasan saat ini justru masih lebih mahal. Belum lagi, petani sawit masih menjerit akibat harga tandan buah segar (TBS) yang masih rendah. 

Kondisi ini berbeda dengan komoditas bahan pokok penting lainnya, gula.

Saat ini, harga gula terpantau terus naik akibat efek domino pandemi Covid-19 dan perang Ukraina-Rusia. Karena itu, pemerintah menetapkan acuan eceran tertinggi di Rp13.500 per kg dan pembelian di tingkat petani Rp11.500 per kg.

Setiap tahun, gula pun mengalami kericuhan yang sama, persoalan impor dan kebocoran gula impor ke pasar konsumsi. Petani selalu mengeluhkan jadwal pemasukan impor yang tak mempertimbangkan secara matang dengan jadwal musim giling. Karena hal itu bisa memicu penurunan harga di tingkat petani.

Hanya saja, ribut-ribut di gula tak sekusut di minyak goreng.

Ketika harga bergerak naik dan pemerintah menetapkan acuan tertinggi, tak terjadi kelangkaan yang menyebabkan antrean masyarakat yang hendak membeli gula.

Sedangkan di minyak goreng, penetapan HET menyebabkan barang menjadi langka bahkan raib, hingga memicu pemerintah bolak-balik menetapkan kebijakan yang berbeda.

Penjualan Gula Pasir di Supermarket, Selasa (29/3/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)Foto: Penjualan Gula Pasir di Supermarket, Selasa (29/3/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Penjualan Gula Pasir di Supermarket, Selasa (29/3/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Dimana, pada medio Maret 2022, pemerintah menyerah dengan membiarkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Sejak saat itu, harga meroket, bahkan sempat rekor ke Rp57.000 per 2 liter.

Tungkot mengatakan, perbedaan kisruh keduanya mungkin disebabkan karakter komoditas impor dan ekspor. Mungkin saja, imbuh dia, insentif impor mungkin lebih menarik dibandingkan ekspor.

"Tapi, seharusnya tidak masalah apakah barang impor atau ekspor sepanjang konsisten dengan tujuanya. Yaitu membuat barang lebih murah bagi konsumen domestik," katanya.

HET gula di pasar domestik, imbuh dia, lebih mahal dari harga gula dunia.

"Ini bukan soal kepatuhan menjalankan HET, tapi menguntungkan penjual gula domestik. Sementara HET minyak goreng domestik jauh lebih murah daripada harga minyak goreng dunia. Mekanisme pasar itu rasional," kata Tungkot.

Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Ahli Gula (Ikagi) Aris Toharisman mengatakan, karut-marut di industri gula tidak sekusut minyak goreng salah satunya juga karena konsistensi pembelian hasil petani.

"PTPN misalnya, kita konsisten membeli tebu petani dengan harga Rp11.500 per kg gula, bahkan sebelum BAPANAS (Badan Pangan Nasional) menetapkan harga pembelian di petani segitu. Jadi, ketiga harga turun, kami beli di petani dengan harga itu. Jadinya, petani terproteksi, dan tak bergejolak karena harga sudah sesuai harapannya," kata Toharisman kepada CNBC Indonesia dikutip Jumat, (8/7/2022).

Dia membandingkan dengan tandan buah segar (TBS) sawit yang harga di tingkat petani jatuh. Menyusul larangan ekspor sehingga tangki CPO (crude palm oil/ minyak sawit mentah) penuh. Padahal, imbuh dia, hajat hidup petani dipertaruhkan.

"Mungkin ada pengaruh karena gula yang masih impor, sedangkan minyak sawit ekspor. Tapi, yang paling membedakan karakter kedua komoditas ini adalah konsistensi. PTPN pasang badan ketika harga gula jatuh," kata Toharisman.

Di sisi lain, nasib petani tebu dan sawit di Indonesia dinilai masih lebih baik dibandingkan petani padi. Pasalnya, petani padi saat ini tengah tertekan lonjakan biaya bertanam, sedangkan harga tetap rendah.

"Petani padi itu petani gurem, usaha tani tak lagi bisa menopang kebutuhan hidupnya secara penuh. Tapi, petani dan penggilingan padi tak berteriak karena mereka tidak seperti petani tebu dan sawit. Mereka tak bisa bersuara karena tidak ada organisasi solid yang mewadahi," kata Khudori kepada CNBC Indonesia, dikutip Jumat (8/7/2022).


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jelang Puasa, Permintaan Gula Melonjak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular