
AS Terancam Resesi, Petani RI Yang Jadi Tumbal Harga CPO

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) diprediksi bakal anjlok dalam. Dipicu menularnya ketakutan pasar global terhadap resesi yang mengancam ekonomi Amerika Serikat (AS). Bahkan, ketakutan pasar tersebut diprediksi lebih kuat dari dampak tensi geopolitik di Ukraina.
Macro Equity Strategist Samuel Sekuritas Indonesia Lionel Priyadi mengatakan, pemerintah harus bersiap menghadapi surplus neraca dagang yang lebih kecil selama 6 bulan ke depan, bahkan neraca berjalan bisa berbalik defisit.
"Pasar komoditas berada di turning point, kalau harga tidak bisa bertahan maka bisa turun di bawah harga sebelum perang. Bahkan CPO sudah lebih rendah dari harga akhir tahun lalu," kata Lionel kepada CNBC Indonesia, Senin (4/7/2022).
"Harga CPO bisa ke MYR 4.000. Artinya, ekspor CPO kita kejar-kejaran dengan waktu. Produsen akan beramai-ramai berusaha kirim CPO, harga di masa depan bisa lebih tertekan lagi. 3 bulan ke depan akan jadi saat paling kritis karena The Fed masih akan menaikkan suku bunga 125 bps," jelas Lionel menambahkan.
Lionel mengatakan, kondisi saat ini bisa menekan rupiah bahkan tembus Rp15.000 per dolar AS, hingga Rp15.500 per dolar AS jika Bank Indonesia telat menaikkan suku bunga.
"Efek positifnya, tekanan inflasi mungkin lebih rendah di 6 bulan ke depan daripada semester I. Jadi, penurunan harga CPO saat ini bukan karena kebijakan di dalam negeri tapi efek kenaikan suku bunga The Fed yang berisiko mendorong ekonomi ke jurang resesi," kata Lionel.
Karena itu, dia mengimbau, pemerintah segera mempercepat laju ekspor sehingga Indonesia tidak semakin kehilangan. Termasuk, dengan mencabut kebijakan yang justru membatasi laju ekspor.
"Skenario saat ini, harga komoditas akan kembali ke level tahun lalu dan rupiah melemah ke Rp15.500. Indonesia bisa kehilangan kesempatan, petani bisa-bisa nggak kebagian apa-apa. Kalau targetnya untuk mengurangi stok di tangki (CPO), mungkin mencabut pembatasan ekspor yang ada," kata Lionel.
Jadi Tumbal
Sementara itu, Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, koreksi harga CPO dunia di semester-II tahun 2022 sudah diperkirakan sejak awal tahun.
"Pengamat dan pelaku bursa memperkirakan harga CPO pada semester 2/2022 ini akan turun ke level MYR 4.000-4.500. Antara lain karena produksi CPO di Indonesia dan Malaysia sudah recovery. Produksi CPO Indonesia Januari-April 2022 naik 8% dibandingkan Januari-April 2021," kata Tungkot kepada CNBC Indonesia, Senin (4/7/2022).
Sementara, imbuh dia, stok di Indonesia melimpah akibat larangan ekspor di bulan Mei 2022, dilanjutkan kebijakan DMO dan DPO jilid 2 sejak Mei hingga saat ini.
Pada saat bersamaan, produksi minyak nabati lain khususnya kedelai dan rapeseed, sunflower di luar Rusia dan Ukrania sudah mendekati recovery.
"Penyebab lain, adanya ancaman inflasi dan resesi ekonomi dunia termasuk di negara-negara importir minyak sawit dunia sebagaimana dilaporkan IMF. Ini membuat konsumsi minyak nabati dunia dan minyak sawit akan menurun. Hal ini sudah mulai terlihat. Harga CPO dunia sudah turun dari sempat diatas MYR 6.000, kini turun menuju MYR 4.000," tuturnya.
Di sisi lain, dia menambahkan, Indonesia sebenarnya sudah kehilangan momentum lonjakan harga CPO.
"Terlalu lama ekspor terhambat. Dalam masa tren harga yang menurun, menaikkan ratio DMO dan DPO dinaikkan 7 kali, justru menambah tekanan turun harga CPO dunia. Yang mungkin menolong adalah konversi stok ke biodiesel ," kata Tungkot.
Karena itu, dia menambahkan, peluang bagi petani menikmati harga tandan buah segar (TBS) yang kembali pulih semakin tipis. Sebab, dengan wajib pemenuhan domestik (DMO) dan harga domestik (DPO) jilir 2, harga TBS petani di Indonesia kan sulit naik hingga ke level yang diterima petani di Malaysia.
"DPO CPO kan Rp10.700 per kg. Berapapun harga CPO dunia, harga acuan TBS tidak jauh dari DPO tersebut. Karena, dalam kenyataan, apakah bisa memisahkan CPO untuk DMO dan bukan DM0? Memisahkan ini TBS untuk DMO itu untuk TBS non DMO? Tidak mungkin. Kalau DPO CPO saja Rp10.700 harga TBS akan sekitar Rp1.900-2.100 di tingkat pelabuhan, sekitar Rp1.500 di tingkat pabrik PKS seperti saat inilah. Di petani bisa di bawah Rp1.200 kalau umurnya di bawah 8 tahun," jelasnya.
Tungkot mengatakan, kondisi saat ini pun menjadikan petani dan perusahaan yang hanya memproduksi CPO sebagai tumbal. Sedangkan, korporasi yang terintegrasi dari hulu ke hilir selamat.
"Tumbal semuanya ini adalah petani sawit dan produsen CPO saja. Hilir seperti industri minyak goreng, biodiesel, oleokimia ya diuntungkan. Karena memperoleh harga bahan baku termurah, sebesar DPO CPO. Padahal harga CPO dunia masih diatas Rp20.000 per kg. Lalu hilir mengolah di dalam negeri untuk konsumsi domestik dan ekspor (bentuk olahan) yang tarif pungutan dan bea keluar sangat rendah. Petani TBS atau produsen CPO saja, ya gigit jari," kata Tungkot.
"Mau harga CPO/ TBS turun, yang hilir dan terintegrasi aman-aman saja. Mereka ekspor biosurfaktan kan tidak diikutkan dalam DMO, dan tak ada tarif pungutan dan bea keluar. Nikmat toh," pungkas Tungkot.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Heboh Viral Petani RI Jual Sawit ke Malaysia, Segini Harganya
