Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang 2022 kondisi serba tak pasti. Berbagai perkembangan terkait report perekonomian global semakin menebar kekhawatiran. Di negara-negara anggota OECD inflasi pada Mei tercatat 9,6% year-on-year (yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1988.
Tertekannya kondisi finansial, krisis energi, hingga pangan berujung pada kekhawatiran resesi. Stagflasi adalah kondisi dimana pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan bahkan turun, dibarengi dengan inflasi yang tinggi.
Pasca perang yang terjadi anatara Rusia-Ukraina akan mengancam pemulihan ekonomi global yang sedang berlangsung setelah dua tahun pandemi. Harga energi dan pangan melonjak karena dua negara ini merupakan pengekspor komoditas besar. Kondisi ini membuat hidup lebih sulit bagi banyak orang di seluruh dunia.
Peningkatan risiko stagflasi membuat resesi ekonomi akan sulit dihindari. Risiko stagflasi cukup besar dengan konsekuensi yang berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Semua ekonom sepakat, pemangku kepentingan perlu mewaspadai dan mengantisipasi potensi terjadinya stagflasi atau stagnasi atau bahkan perlambatan pertumbuhan ekonomi yang datang bersamaan dengan inflasi tinggi.
Di Amerika Serikat (AS), laju inflasi pada periode yang sama adalah 8,6% yoy. Rekor tertinggi sejak 1981. Inflasi yang semakin tinggi akan membuat bank sentral menjadi 'ganas'. Kebijakan moneter diketatkan secara agresif, suku bunga acuan dinaikkan.
OECD menyalahkan konflik geopolitik di Rusia dan Ukraina jadi penyebab melambatnya ekonomi dunia yang diikuti oleh inflasi yang tinggi, krisis energi, dan pangan.
Di kawasan Eropa, inflasi tahun-ke-tahun utama yang diukur dengan Harmonized Index of Consumer Price (HICP) naik menjadi 8,1% pada Mei 2022, dibandingkan dengan 7,4% pada April. Peningkatan yang mencolok diamati di Prancis dan Italia, sementara inflasi diperkirakan melambat di Jerman. Pertumbuhan ekonomi global akan diproyeksikan melemah
Pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi melambat tahun ini. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3% pada 2022. Angka tersebut lebih rendah dari proyeksi Desember sebesar 4,5%. Untuk 2023 proyeksinya ekonomi dunia akan tumbuh 2,75%.
Pertumbuhan akan jauh lebih lemah dari yang diharapkan di hampir semua negara. Eropa yang paling terpukul karena sangat rentan terhadap konflik di Eropa Timur karena impor energi dan arus pengungsi. Sekadar informasi, gas Rusia banyak mengalir ke Eropa dengan besaran 167,7 miliar meter kubik pada tahun 2020. Jumlah ini setara 37,5% total impor gas alam Eropa.
Negara-negara di seluruh dunia sedang dilanda oleh harga komoditas yang lebih tinggi. Hal ini menambah tekanan inflasi dan memangkas marjin keuntungan karena biaya bahan baku yang makin mahal.
Jika marjin keuntungan perusahaan terus tertekan, akibatnya bisa berdampak pada pengangguran yang bertumbuh dan kesempatan kerja yang lebih sedikit. Ketika pengangguran bertambah namun harga energi terus melambung, maka dunia makin dekat dengan stagflasi.
Lonjakan harga komoditas dan kemungkinan produksi akan berdampak signifikan. Kenaikan tajam harga sudah merusak daya beli, yang akan memaksa rumah tangga berpenghasilan rendah di seluruh dunia untuk mengurangi anggaran belanja. Kemudian uangnya dialihkan untuk membayar energi dan kebutuhan pangan.
Sementara Indeks Harga Pangan Food and Agriculture Organization (FAO) turun 0,9 persen poin ke level 157,4 poin pada Mei 2022 dari bulan sebelumnya. Penurunan ini merupakan yang kedua kalinya terjadi secara beruntun, sejak indeks mencapai level tertingginya di 159,7 pada Maret 2022. Meskipun bergerak turun secara bulanan, indeks harga pangan dunia pada Mei 2022 masih lebih tinggi 22,8% dibanding setahun sebelumnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA