Manufaktur RI di Bibir Jurang, Ini Buktinya!
Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas manufaktur Indonesia masih ekspansif pada Juni 2022. Namun merupakan yang paling lambat dalam sepuluh bulan.
Pada Jumat (1/7/2022), S&P Global merilis data aktivitas manufaktur yang dicerminkan dengan Purchasing Managers' Index (PMI). Untuk periode Juni 2022, PMI manufaktur Indonesia ada di angka 50,2.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
Produksi manufaktur Indonesia bertahan di zona ekspansi ditopang oleh peningkatan permintaan. Dalam laporannya S&P menyebut adanya kenaikan volume pesanan baru yang lebih tinggi karena aktivitas pembelian yang masif.
Aktivitas pembelian meningkat selama sepuluh bulan berturut-turut dengan pertumbuhan paling tinggi sejak Januari.
Persediaan pra-produksi secara luas tidak berubah. S&P Global melaporkan perusahaan yang disurvei mencatat sedikit peningkatan dalam persediaan pasca produksi menjelang peluncuran produk baru.
"Kesehatan umum sektor manufaktur Indonesia hampir stagnan pada bulan Juni, menurut data S&P Global PMI. Volume buku pesanan meningkat pada tingkat paling lambat dalam sepuluh bulan, dengan beberapa mencatat peningkatan output disebabkan oleh upaya untuk meningkatkan persediaan pasca produksi," kata Lauran Denman, Ekonom di S&O Global Market Intelligence.
"Pada saat yang sama, permintaan luar negeri menyentuh titik terendah sejak September 2021, menandakan bahwa ekspansi permintaan secara keseluruhan saat ini sedang ditopang oleh pesanan domestik," tambahnya.
Sementara itu, kendala rantai pasokan masih jadi kendala dari sisi input. Akibatnya harga bahan mentah tetap langka dan harganya kian mahal sehingga beban menjadi bertambah.
Tekanan inflasi masih bertahan seiring dengan lajunya yang makin cepat tiap bulan. Selain itu, kenaikan PPN menjadi 11% baru-baru ini dilaporkan memperburuk masalah rantai pasokan dan inflasi yang membuat beban produksi makin tinggi.
Diprediksi tingkat inflasi Indonesia akan mencapai target 4% bahkan lebih. Sehingga akan timbul kenaikan suku bunga yang makin mempersempit industri untuk ekspansi karena biaya kredit yang juga berpotensi makin tinggi. Ini juga akan jadi risiko penekan aktivitas manufaktur ke depan.
Sejalan dengan biaya produksi yang tinggi, produsen pun membebankan biaya lebih tinggi kepada konsumen.
"Menurut data Juni, tekanan harga tetap bertahan karena perusahaan terus memilih untuk berbagi biaya bahan baku yang lebih besar dengan pelanggan mereka. Kenaikan harga tetap menjadi risiko penurunan pertumbuhan, dan jika inflasi terus memburuk, permintaan domestik dapat terpukul, yang bisa berarti sektor manufaktur Indonesia semakin kehilangan momentum pertumbuhan," jelas Denman.
Sementara itu, penurunan tingkat pekerjaan tercatat pada bulan Juni, menyusul peningkatan jumlah angkatan kerja selama lima bulan berturut-turut. Pada saat yang sama, tingkat pekerjaan yang luar biasa turun sedikit.
Laju PMI Manufaktur Indonesia sendiri berada di posisi ke-6 dari 7 negara yang di survey di regional ASEAN.
Singapura menjadi negara dengan laju PMI tertinggi dengan 59,3. Posisi kedua dan ketiga ada Vietnam dengan skor 54 dan Filipina dengan 53,8. Kemudian diikuti Thailand (50,7), Malaysia (50,4). Posisi paling bontot diisi oleh Myanmar yang tergelincir ke zona kontraksi dengan 48,2.
Optimisme di seluruh sektor manufaktur Indonesia terlihat. Ada harapan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan dan penguatan kondisi permintaan secara luas sebagai pendorong kepercayaan. Namun jika kemudian inflasi terus naik, bukan tidak mungkin aktivitas manufaktur Indonesia akan terlempar ke zona kontraksi. Sebab biaya input yang tinggi akan membuat beban pelanggan yang membeli semakin besar sehingga berpotensi menurunkan permintaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ras/ras)