Rupiah Terus Merosot, Awas! Orang Miskin Bisa Tambah Miskin

Maesaroh, CNBC Indonesia
17 June 2022 15:15
Kesibukan aktivitas pembeli dan pedagang di Pasar Tradisional Kranji, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 2/4. Jelang memasuki Ramadhan pada esok hari harga sayuran mengalami kenaikan. (Cnbc Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan melakukan pantauan harga kebutuhan pokok di Pasar Cibubur Kamis (16/6/2022). (CNBC Indonesia/ Ferry Sandi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terpuruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hingga menyentuh Rp 14.800/US$. Pelemahan dollar AS ini bisa menjadi persoalan besar bagi masyarakat berpenghasilan menengah bawah karena bisa berdampak langsung terhadap harga bahan pangan.

Pelemahan rupiah dipicu kenaikan suku bunga acuan The Fed yang membuat banyak investor asing kabur dari Indonesia. Investor memilih membeli dollar AS atau surat utang pemerintah AS.

Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengingatkan pelemahan dollar AS akan memberi dampak berlapis-lapis kepada ekonomi dan masyarakat Indonesia. Di antaranya adalah semakin naiknya harga pangan dan energi, melemahnya daya beli, hingga bertambahnya pengangguran.


Bhima menjelaskan dampak paling terasa saat ini adalah kenaikan harga pangan. Imported inflation membuat sejumlah harga pangan melonjak, mulai dari gandum, susu, daging, hingga tempe.

Padahal, sekitar 73-75% pengeluaran rumah tangga miskin dihabiskan untuk membeli makanan. Jika harga terus naik maka semakin banyak bahan makanan yang tidak bisa terjangkau.

"Biaya kebutuhan pokok dan hidup akan langsung naik signifikan. Ini memberatkan," tutur Bhima, kepada CNBC Indonesia.

Besarnya imported inflation sudah tercermin dari masih tingginya harga komoditas pangan meskipun Lebaran sudah berlalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada kelompok harga bergejolak mencapai 2,30% (month to month/mtm) pada April dan 0,94% pada Mei tahun ini dengan sumbangan terbesar datang dari makanan dan minuman.

Hal ini berbanding terbalik dengan tahun lalu di mana pada periode April-Oktober 2021, inflasi harga bergejolak tidak pernah menembus 0,5% (mtm).

"Ada anomali ya. Biasanya pasca Lebaran, harga-harga akan turun terutama dari kelompok volatile. Sekarang harga kelompok masih volatile, masih tinggi. Perang membuat logistic mahal sehingga biaya impor membengkak, harga pun naik," imbuhnya.

Kenaikan harga panganFoto: BPS
Kenaikan harga pangan

BPS awal bulan ini sudah mengingatkan sejumlah komoditas pangan naik tajam mulai dari gandum, kedelai, hingga jagung. Kenaikan akan diteruskan kepada produk turunan.

Penelusuran CNBC Indonesia menunjukkan harga kebutuhan pokok mulai dari susu, mie instan, hingga sabun mandi naik drastis. Di gerai ritel, mie instan Indomie kini dijual dengan harga Rp 2.900 per bungkus, lebih mahal Rp 200 dibandingkan pada 20 Maret lalu.

Indomilk susu cair UHT full cream kemasan 250 ml dibanderol Rp 6.100 per pack, padahal pada 20 Maret lalu masih Rp 5.000.
Sabun mandi cair Lux refill Magical Orchid 400 ml sekarang dijual dengan harga Rp 32.900, padahal pada 20 Maret lalu kemasan 450 ml dijual dengan harga Rp 27.050.

Bhima mengingatkan harga bahan pangan diperkirakan masih akan bertahan tinggi karena diperburuk dengan persoalan pupuk.
Indonesia selama ini menggantungkan pupuk ke Rusia sehingga harga pupuk melonjak menyusul terjadinya perang.  Bhima juga mengingatkan kenaikan jagung akan diteruskan kepada pakan ternak serta produk poultry seperti telur dan daging ayam.

"Imbasnya akan langsung kepada konsumen. Kalau pakan ternak naik maka harga telur dan daging akan naik juga," imbuhnya.

Dia menambahkan merebaknya penyakit mulut dan kuku (PMK) kepada hewan ternak juga memperpanjang persoalan.
Penyakit PMK akan membuat pasokan daging lokal berkurang sementara harga daging impor akan melonjak karena pelemahan rupiah.

Selain harga pangan, Bhima mengingatkan kenaikan harga energi dalam jangka panjang akan memberatkan. Pemerintah memang sudah memastikan harga Pertalite dan tarif dasar listrik untuk kalangan menengah bawah tidak akan naik. Namun, jika harga minyak mentah terus membengkak dan rupiah terus melemah maka kemampuan pemerintah untuk memberikan subsidi bisa berkurang.

"Sampai saat ini masih bisa ditahan tetapi kalau impor terus bengkak akibat pelemahan nilai tukar maka efeknya bisa ke pemotongan subsidi," tuturnya.

Dampak tidak kalah besar dari pelemahan rupiah adalah bisa meningkatnya pengangguran.  Pelemahan rupiah bisa membuat beban perusahaan membengkak sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain memangkas jumlah tenaga kerja. Padahal, sektor ketenagakerjaan Indonesia belum pulih sepenuhnya akibat pandemi Covid-19.

Sebagai catatan, sebagian besar perusahaan dalam negeri masih menggantungkan bahan bakunya dari luar negeri sehingga pelemahan rupiah akan sangat berdampak kepada bisnis mereka.

"Pelemahan rupiah bisa membuat perusahaan menurunkan ekspansi usahanya padahal masih ada jutaan masyarakat Indonesia yang menganggur ataupun terdampak pandemi," imbuhnya.

Data BPS menunjukan jumlah pengangguran per Februari 2022 mencapai 8,4 juta orang.  Terdapat 11,53 juta orang (5,53%) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19. Terdiri dari pengangguran karena Covid (0,96 juta orang), bukan angkatan kerja (BAK) karena Covid (0,55 juta orang), sementara tidak bekerja karena Covid (0,58 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid (9,44 juta orang).

"Biaya hidup mereka naik sementara mereka tidak punya pekerjaan dan aset, mereka pun kemudian berhutang," ujarnya.

"Pelemahan rupiah bisa membuat perusahaan menurunkan ekspansi usahanya padahal masih ada jutaan masyarakat Indonesia yang menganggur ataupun terdampak pandemi," imbuhnya.

Data BPS menunjukan jumlah pengangguran per Februari 2022 mencapai 8,4 juta orang. Terdapat 11,53 juta orang (5,53%) penduduk usia kerja yang terdampak Covid-19. Terdiri dari pengangguran karena Covid (0,96 juta orang), bukan angkatan kerja (BAK) karena Covid (0,55 juta orang), sementara tidak bekerja karena Covid (0,58 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena Covid (9,44 juta orang).

"Biaya hidup mereka naik sementara mereka tidak punya pekerjaan dan aset, mereka pun kemudian berhutang," ujarnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular