Harga BBM Naik, RI Selamat dari 'Bom Waktu'?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
30 June 2022 07:45
Warga mengisi bensin di Kawasan SPBU Kuningan Rasuna Said, Jakarta, Selasa, 28/Juni/2022. PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga berencana mengatur pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Khusus Penugasan (JBKP) seperti Pertalite dan juga BBM Solar Subsidi. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Warga mengisi bensin di Kawasan SPBU Kuningan Rasuna Said, Jakarta, Selasa, 28/Juni/2022. PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga berencana mengatur pembelian Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Khusus Penugasan (JBKP) seperti Pertalite dan juga BBM Solar Subsidi. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa ditahan terus menerus apabila harga minyak dunia terus menanjak. Subsidi BBM ibarat bom waktu yang siap ledakan APBN.

Lonjakan harga komoditas global, khususnya minyak mentah merupakan risiko bagi inflasi dan arah fiskal di negara kawasan. Bagi Indonesia, kenaikan harga komoditas menjadi keuntungan sekaligus kerugian.

Kenaikan harga komoditas global membawa berkah dalam peningkatan ekspor dan pendapatan pemerintah, namun menambah biaya fiskal untuk mempertahankan kontrol harga serta subsidi dan menahan laju inflasi.

Bank DBS Indonesia telah melakukan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA) untuk mengidentifikasi penggerak utama inflasi atas dasar harga konsumen.

Dalam temuan Bank DBS Indonesia tersebut, menunjukan bahwa Indonesia meskipun faktor global (komoditas) berpengaruh terhadap inflasi, yang lebih penting adalah katalis domestik.

"Setelah harga BBM eceran dipertahankan stabil selama pandemi, ada indikasi harga BBM bersubsidi kemungkinan dinaikkan untuk mengurangi beban keuangan negara," jelas Bank DBS Indonesia dalam laporannya, dikutip Rabu (29/6/2022).

Harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) meningkat menjadi U$ 99,4 per barel selama Januari-April 2022, jika dibandingkan dengan US$ 68,5 per barel pada 2021, meningkat 45% pada tahun ini.

Di tengah kesenjangan melebar antara harga domestik dan internasional, Pertamina, perusahaan milik negara, menyesuaikan harga tiga varian bahan bakar non-subsidi bermutu tinggi, yakni Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.

Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)Foto: Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)
Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)

Setelah itu, harga Pertamax non-subsidi dinaikkan lebih 39% menjadi Rp 12.500 sejak April, dengan jenis bahan bakar tersebut menyumbang 16% terhadap total konsumsi, sementara sisanya bahan bakar bersubsidi.

Sebaliknya, harga varian bersubsidi yang umum digunakan, Pertalite (RON 90) dan Premium (RON 88), yang menyumbang lebih dari 80% terhadap konsumsi, tidak berubah selama tiga tahun terakhir.

Keraguan pemerintah dalam mengizinkan beban akibat kenaikan harga sepenuhnya dialihkan ke konsumen dapat dipahami berdasarkan atas pengalaman sebelumnya.

"Penyesuaian harga mengakibatkan lonjakan harga bahan bakar, sehingga mendorong inflasi naik, membebani obligasi, serta memerlukan langkah pengetatan secara cepat oleh Bank Indonesia," tulis Bank DBS Indonesia.

Pada 2001, pemerintah menaikan harga 12% harga bahan bakar setelah upaya serupa gagal pada tahun sebelumnya, diikuti kenaikan 22% pada 2003. Kendati demikian, sebagian harus dibatalkan karena aksi protes dan tindak kekerasan masyarakat terhadap langkah tersebut.

Karena subsidi terus meningkat, harga eceran meningkat tajam dua kali pada 2005 (solar naik 27% pada Maret dan 105% pada Oktober), yang mendorong inflasi ke tingkat tertinggi selama enam tahun, meskipun ada bantuan tunai untuk rumah tangga berpenghasilan rendah.

Kendati harga minyak global melonjak pada 2008, harga domestik tidak berubah. Namun, kesenjangan harga yang lebar membuat pihak berwenang menaikkan harga hampir 29% pada pertengahan 2008.

Perdebatan tentang waktu penyesuaian harga terus berlanjut pada dasawarsa berikutnya. Ada peluang untuk menurunkan subsidi pada 2014 saat harga minyak dunia turun. Dengan memanfaatkan celah tersebut, Indonesia menaikkan harga bensin dan solar hampir 40% pada November 2014.

Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)Foto: Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)
Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)

Pada awal 2015, pemerintah mengumumkan rencana menghapus subsidi untuk bensin dan menetapkan harga fleksibel untuk solar. Itu berarti, harga domestik dimungkinkan berfluktuasi dengan rentang tetap Rp 1.000 dengan harga internasional.

"Dalam satu dasawarsa terakhir, subsidi sebagian besar diarahkan untuk minyak bumi (RON 88/Premium yaitu bensin, minyak tanah, dan solar), LPG 3kg dan listrik," jelas Bank DBS Indonesia.

Pada Januari 2015, BBM di zona Indonesia Tengah dicabut, dan subsidi tetap diterapkan untuk solar. Selanjutnya, harga bensin dan listrik untuk konsumen bisnis/industri besar serta perumahan menengah ke atas direformasi agar sesuai dengan harga pasar.

Bantuan diperluas ke rumah tangga berpenghasilan rendah dengan mempertahankan subsidi untuk varian bahan bakar yang umum digunakan, misalnya, RON 88 dan Premium.

Mekanisme pemantauan harga reguler juga diberlakukan. Akibatnya, subsidi energi sebagai bagian dari PDB turun dari 3,2% dari PDB pada Desember 2014 menjadi rata-rata 0,8% antara 2017-2019.

Anggaran 2022 mengasumsikan penurunan 15% dalam total subsidi menjadi Rp 207 triliun, dengan energi, termasuk listrik, mencapai Rp 134 triliun vs Rp 140 triliun pada tahun lalu.

Selain itu, perusahaan minyak milik negara, Pertamina, juga perlu menerima kompensasi atas kerugiannya (menjual di bawah harga pasar).

Berbeda dengan penurunan subsidi yang dianggarkan, harga minyak dunia telah bergerak ke lain arah. APBN 2022 mengasumsikan Harga Minyak Mentah Indonesia sebesar US$ 63 per barel dan tingkat yang berlaku saat ini adalah 45% lebih tinggi, rata-rata US$ 99,4 per barel pada Januari-April 2022.

Pada triwulan pertama 2022, total subsidi naik 80% secara tahunan, dengan subsidi untuk energi meningkat sebesar 55% secara tahunan.

Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)Foto: Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)
Indonesia Economic Outlook (Dok: DBS)

Ditambah dengan kompensasi yang harus dibayarkan kepada PT Pertamina sebesar Rp 49,5 triliun pada 2020. Dengan Rp 15,9 triliun masih belum dibayarkan di samping Rp 68,5 triliun untuk tahun 2021, yang mungkin jauh lebih tinggi dari yang dianggarkan sebesar Rp 140 triliun untuk 2022

Dengan asumsi kenaikan 20% dalam total subsidi di samping kompensasi lebih tinggi untuk perusahaan minyak milik negara, dana cadangan kumulatif sebesar 0,4% dari PDB akan diperlukan untuk penghitungan tahun ini untuk tetap berada dalam target -4,85%

Ada dua pilihan, menyesuaikan harga bahan bakar bersubsidi atau memprioritaskan kembali pengeluaran yang telah disepakati untuk menciptakan peluang lebih besar untuk pengeluaran subsidi lebih tinggi.

Pilihan kedua membawa risiko untuk pertumbuhan karena perekonomian akan membutuhkan mesin tambahan untuk pemulihan di luar dorongan pembukaan kembali, yang akan kehilangan momentum pada paruh kedua tahun ini.

"Oleh karena itu, pandangan kami adalah bahwa harga bahan bakar mungkin sebagian perlu disesuaikan pada Juni atau Kuartal III-2022. Dengan asumsi penyesuaian sebagian harga bahan bakar, defisit fiskal 2022 kemungkinan akan menyempit menjadi -4,5% dari PDB vs yang ditargetkan -4,85%," jelas Bank DBS Indonesia.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular