Harga BBM Naik, RI Selamat dari 'Bom Waktu'?
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga bahan bakar minyak (BBM) tidak bisa ditahan terus menerus apabila harga minyak dunia terus menanjak. Subsidi BBM ibarat bom waktu yang siap ledakan APBN.
Lonjakan harga komoditas global, khususnya minyak mentah merupakan risiko bagi inflasi dan arah fiskal di negara kawasan. Bagi Indonesia, kenaikan harga komoditas menjadi keuntungan sekaligus kerugian.
Kenaikan harga komoditas global membawa berkah dalam peningkatan ekspor dan pendapatan pemerintah, namun menambah biaya fiskal untuk mempertahankan kontrol harga serta subsidi dan menahan laju inflasi.
Bank DBS Indonesia telah melakukan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA) untuk mengidentifikasi penggerak utama inflasi atas dasar harga konsumen.
Dalam temuan Bank DBS Indonesia tersebut, menunjukan bahwa Indonesia meskipun faktor global (komoditas) berpengaruh terhadap inflasi, yang lebih penting adalah katalis domestik.
"Setelah harga BBM eceran dipertahankan stabil selama pandemi, ada indikasi harga BBM bersubsidi kemungkinan dinaikkan untuk mengurangi beban keuangan negara," jelas Bank DBS Indonesia dalam laporannya, dikutip Rabu (29/6/2022).
Harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) meningkat menjadi U$ 99,4 per barel selama Januari-April 2022, jika dibandingkan dengan US$ 68,5 per barel pada 2021, meningkat 45% pada tahun ini.
Di tengah kesenjangan melebar antara harga domestik dan internasional, Pertamina, perusahaan milik negara, menyesuaikan harga tiga varian bahan bakar non-subsidi bermutu tinggi, yakni Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
Setelah itu, harga Pertamax non-subsidi dinaikkan lebih 39% menjadi Rp 12.500 sejak April, dengan jenis bahan bakar tersebut menyumbang 16% terhadap total konsumsi, sementara sisanya bahan bakar bersubsidi.
Sebaliknya, harga varian bersubsidi yang umum digunakan, Pertalite (RON 90) dan Premium (RON 88), yang menyumbang lebih dari 80% terhadap konsumsi, tidak berubah selama tiga tahun terakhir.
Keraguan pemerintah dalam mengizinkan beban akibat kenaikan harga sepenuhnya dialihkan ke konsumen dapat dipahami berdasarkan atas pengalaman sebelumnya.
"Penyesuaian harga mengakibatkan lonjakan harga bahan bakar, sehingga mendorong inflasi naik, membebani obligasi, serta memerlukan langkah pengetatan secara cepat oleh Bank Indonesia," tulis Bank DBS Indonesia.
(cap/mij)