Sederet negara kini sudah masuk jurang resesi dan krisis. Tidak sedikit juga yang berada dalam antrean menuju situasi yang mengerikan tersebut.
Andry menjelaskan sederet persoalan tersebut pasti akan menghampiri Indonesia. Akan tetapi kini yang patut dipahami adalah kemampuan Indonesia mengambil langkah antisipasi.
Dampak yang jelas terasa adalah inflasi. Hingga Mei 2022, inflasi Indonesia sudah mencapai 3,55%. Level yang amat tinggi dibandingkan dua tahun terakhir. Dipicu oleh kenaikan harga pangan imbas terbatasnya pasokan.
Sampai dengan akhir tahun, inflasi diperkirakan mencapai 4,6%, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Sebab pemerintah telah menambah subsidi agar tidak ada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), LPG 3kg dan tarif listrik di bawah 3.000 VA.
Inflasi menjadi indikator penting dalam perekonomian karena berkaitan dengan berbagai kebijakan. Salah satunya suku bunga acuan. Apabila inflasi tinggi, maka suku bunga dinaikkan. Sehingga risiko yang muncul kemudian adalah perlambatan ekonomi.
Dampak lainnya adalah pada pasar keuangan sebagai imbas kenaikan progresif suku bunga acuan AS dan ancaman resesi. Tak heran saham dan rupiah merosot tajam, seperti yang juga dialami banyak negara lain.
Andry menuturkan, Indonesia menjadi negara yang cukup beruntung dalam situasi sekarang. Lonjakan harga komoditas internasional ikut membentuk fundamental ekonomi nasional. Khususnya dari sisi eksternal.
Pada Mei 2022 neraca perdagangan surplus US$ 2,9 miliar. Dengan surplus di Mei 2022 ini artinya, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus 25 bulan berturut-turut. Hal ini turut mendorong cadangan devisa yang mencapai US$ 135,6 miliar.
Di sisi lain pemulihan ekonomi berlanjut, menyusul penyebaran kasus covid-19 yang terkendali. Indeks keyakinan konsumen juga dalam tren peningkatan. Andry memproyeksikan tahun ini ekonomi masih akan tumbuh tinggi yaitu 5,17%.
"Indonesia masih bisa bertahan karena 2022-2023 harga komoditas masih menopang pertumbuhan Indonesia," kata Andry.
2. Head of Economic and Research UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja
Enrico turut memperkirakan ekonomi Indonesia tetap tumbuh pada tahun ini, meskipun sedikit di bawah Andry. Ramalan Enrico adalah 4,8%, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, yaitu 5%.
Hal yang patut diwaspadai, kata Enrico adalah inflasi. Keseluruhan tahun diperkirakan inflasi bisa mencapai 4,2-4,5% dengan asumsi adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selain pangan.
Kebijakan subsidi energi saat ini dianggap sangat tepat untuk menjaga daya beli masyarakat yang bary pulih dari pandemi covid-19. Akan tetapi pemerintah punya batasan, di mana harus menurunkan defisit fiskal hingga ke bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit 2022 ditarget 4,5% PDB.
"Berapa lama kita bisa tahan padahal tahun depan kita harus masuk ke bawah 3% PDB," ujar Enrico.
Enrico melihat ada kondisi yang tidak sinkron antara kebijakan moneter dan fiskal. Bank Indonesia (BI) telah memulai normalisasi dengan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan agresif, sementara Kementerian Keuangan masih ekspansif.
Kenaikan inflasi tersebut, lanjut Enrico akan mendorong perubahan konsumsi di masyarakat. "Kita melihat bahwa kenaikan inflasi akan sebabkan orang untuk mengundur pembelian item barang elektronik, sepeda motor dan lainnya, dan fokus ke sandang dan pangan" paparnya.
Sayangnya situasi ini harus direspons oleh BI dengan kenaikan suku bunga acuan hingga menjadi 4,5% hingga akhir tahun dimulai 0,25% pada Juli 2022. Menurut Enrico dampaknya ke pelemahan ekonomi tidak akan signifikan malah justru menjadi daya tarik investor masuk ke Indonesia.
3. INDEF
INDEF juga mengungkapkan kekhawatiran soal inflasi. Inflasi yang tinggi menekan pertumbuhan ekonomi dan menghambat pemulihan ekonomi. Peningkatan inflasi yang terus menerus dapat menghantam sisi konsumsi rumah tangga dengan berkurangnya nilai riil dari uang yang dipegang.
"Infasi akan semakin berdampak buruk jika tidak diikuti oleh peningkatan upah/gaji yang sebanding," tulis INDEF dalam risetnya.
Indonesia, kata INDEF memerlukan bauran kebijakan dalam mengendalikan inflasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Pengendalian tingkat inflasi tidak dapat hanya mengandalkan salah satu kebijakan dari satu sisi, perlu ada bauran kebijakan dalam mengendalikan dan memitigasi risiko tantangan inflasi di 2022.
Menurut INDEF, apabila BI merespons dengan kenaikan suku bunga acuan, maka akan memukul investasi, khususnya FDI ke negara berkembang karena modal akan condong lari ke negara-negara asalnya dan asset yang aman seperti USD.
"Peningkatan suku bunga BI juga akan mendorong tingkat bunga kredit dalam negeri."
Pemerintah juga perlu mewaspadai kesiapan fiskal. Terutama ketika suku bunga acuan AS semakin tinggi, maka akan membuat biaya penerbitan surat utang menjadi mahal.
"Pembiayaan menjadi sulit dan mahal dengan tingkat suku bunga yang tinggi. Peningkatan suku bunga membuat biaya pembiayaan menjadi mahal baik di tingkat domestik maupun global."
4. Ekonom PT Bank BCA Tbk, David Sumual
David sepertinya tidak terlalu ambil pusing dalam situasi sekarang. Padahal banyak negara sudah masuk jurang krisis.
"Sejauh ini aman-aman saja," ungkapnya kepada CNBC Indonesia.
Indonesia beruntung karena lonjakan harga komoditas internasional. Sebut saja batu bara, nikel, bauksit, tembaga, hingga minyak kelapa sawit. Sejarah pun ikut mencatat.
"Waktu terjadi high commodity crisis di 2012-2014 dan tahun 70an harga minyak dunia, bahkan stagflasi dan inflasi tinggi, itu kita juga mengalami pertumbuhan lumayan," paparnya.
Di samping itu, ekonomi Indonesia mayoritas ditopang oleh konsumsi domestik. Seperti krisis keuangan 2008-2009, ketika ekonomi global melemah, Indonesia juga masih berhasil tumbuh tinggi.
"Paling utama mobilitas, makin baik itu mendorong perekonomian," imbuhnya.
Diakui David, memang ada risiko dari sisi inflasi. Namun pemerintah sudah mengambil kebijakan tambahan subsidi energi, sehingga tidak ada kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), LPG dan tarif listrik di bawah 3000 VA. Dana subsidi diambil dari tambahan penerimaan negara akibat kenaikan harga komoditas.
Dengan demikian APBN masih terjaga dengan defisit yang lebih rendah dari yang diperkirakan. Pemerintah memperkirakan defisit bisa menyentuh level 4,5% PDB. Ini sejalan dengan keinginan menurunkan defisit ke bawah 3% PDB pada 2023.
"Kalau harga minyak tinggi tahun depan dan kemungkinan gak bisa 3%, kemungkinan harus menaikan harga tahun depan," terang David.
Inflasi yang terkendali, membuat kekhawatiran untuk sektor moneter berkurang. Sebab BI tidak perlu buru-buru dalam menaikan suku bunga acuan. Sebab risikonya bisa melemahkan ekonomi.
"Moneter sudah oke, sudah menaikkan GWM. Akan tetapi untuk mencegah outflow perlu ada sinyal kenaikan suku bunga," paparnya.
Di pasar keuangan, khususnya nilai tukar rupiah memang alami tekanan akibat kenaikan suku bunga acuan AS. Namun sejauh ini masih cenderung stabil dibandingkan banyak negara lain.
Nilai tukar Rupiah sampai dengan 22 Juni 2022 terdepresiasi sekitar 4,14% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 5,17%, Malaysia 5,44%, dan Thailand 5,84%.
5. Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet
Yusuf menilai, krisis yang terjadi di belahan negara, memiliki dampak ke Indonesia dan bisa terjadi dalam dampak langsung dan tidak langsung.
Dampak langsung dari resesi yang terjadi di beberapa negara, kata Yusuf melalui jalur perdagangan. Jika negara yang terkena krisis merupakan mitra dagang Indonesia, tentu akan mempengaruhi kinerja ekspor maupun impor dari dan menuju negara tujuan tersebut.
Sementara itu, dampak tidak langsung berbentuk melemahnya negara tujuan ekspor utama, misalnya seperti China. Bisa saja Cina tidak terkena krisis saat ini tetapi jika negara partner dagang utama Cina terkena krisis maka tentu perekonomian Cina juga akan mengalami penyesuaian.
"Penyesuaian ini bisa berdampak ke Indonesia karena kita tahu Indonesia adalah salah satu partner dagang utama China dan kita banyak melakukan ekspor maupun menerima impor dari dan menuju China," ujarnya.
"Selain itu krisis juga bisa berdampak terhadap kenaikan harga komoditas dan pangan dan kenaikan ini pada muaranya juga akan berdampak ke perekonomian domestik," kata Yusuf lagi.
Yusuf menuturkan, modal kuat Indonesia adalah proporsi konsumsi rumah tangga dan investasi lebih besar dibandingkan ekspor impor terhadap PDB. Sehingga ketika ekonomi dunia melambat, Indonesia masih cenderung aman. Maka dari itu, menjaga inflasi sangat penting dilakukan sekarang.
"Namun sekali lagi bahwa ini akan tergantung seberapa parah krisis akan terjadi dan seberapa banyak negara yang akan terkena dampak dari krisis ini," ungkapnya.