
Awas Pak Jokowi! Ada 'Bom Waktu' Intai Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi Indonesia sejauh ini masih baik-baik saja di tengah banyak negara dalam antrean masuk ke jurang resesi dan krisis. Namun pemerintah harus tetap waspada, sebab ada 'bom waktu' yang siap meledak.
Bom waktu tersebut adalah subsidi energi, meliputi bahan bakar minyak (BBM), LPG 3 kg dan listrik.
Tahun ini pemerintah mengeluarkan dana hingga Rp 520 triliun untuk menahan harga energi tersebut tidak naik. Sekaligus untuk membayar utang ke PT Pertamina persero dan PT PLN persero yang menahan harga dalam dua tahun terakhir.
Tingginya kebutuhan subsidi merupakan imbas lonjakan harga minyak dunia. Awalnya asumsi pemerintah adalah US$ 68 per barel, namun perang Rusia dan Ukraina membawa harga minyak dunia menembus US$ 120 per barel.
Langkah pemerintah menahan subsidi dianggap tepat oleh beberapa kalangan untuk menjaga inflasi terkendali di level 2-4%. Sehingga Bank Indonesia (BI) tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan yang bisa menahan laju pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19.
![]() BKF Kemenkeu (Dok. BKF Kemenkeu) |
Hanya saja, upaya dalam menahan harga tersebut tidak bisa bertahan lama. Apalagi masih ada kemungkinan harga minyak dunia melejit.
"Berapa lama kita bisa tahan?," ungkap Head of Economic and Research UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, dikutip Rabu (29/6/2022)
Pemerintah punya batasan, di mana harus menurunkan defisit fiskal hingga ke bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara saat ini defisit diperkirakan 4,5% PDB. Penurunan defisit harus dilakukan secara lembut agar tidak menimbulkan efek kejut di perekonomian.
Pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir juga akan menjadi beban besar untuk subsidi energi. Sebab pasokan BBM dan LPG mengandalkan impor. Dolar AS diperkirakan akan bergerak ke level di atas Rp 15 ribu.
Radhika Rao, Senior Economist DBS Group Research memandang risiko pelebaran defisit bisa terjadi apabila harga energi terus ditahan. Sehingga opsi untuk menaikkan harga BBM, khususnya pertalite bisa menjadi pilihan pemerintah.
"Harga bahan bakar mungkin sebagian perlu disesuaikan pada Juni/3Q22. Dengan asumsi penyesuaian sebagian harga bahan bakar, defisit fiskal 2022 kemungkinan akan menyempit menjadi -4,5% dari PDB vs yang ditargetkan -4,85%," ujarnya.
![]() BKF Kemenkeu (Dok. BKF Kemenkeu) |
Pemerintah juga bisa fokus dalam mendorong roda perekonomian melalui belanja yang lebih produktif. Menurut Radhika, sekarang adalah momentum yang tepat dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan inflasi dipastikan terjadi pasca kenaikan harga BBM. Apabila ada kenaikan harga 10% maka inflasi bisa menjadi 4,2-4,3% dan 25%, mendekati 5,5%. Maka dari itu respons selanjutnya akan datang dari Bank Indonesia (BI) untuk meredam inflasi.
"Perubahan arah, yang mengindikasikan pengetatan, kemungkinan terjadi pada Juni/Juli, yang akan diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan. Karena inflasi inti semakin menguat dan aset domestik berada di bawah tekanan akibat pengambilan risiko yang lemah, bahkan jika sebagian dimitigasi oleh neraca perdagangan kuat, kami memperkirakan kenaikan kumulatif 75bp mungkin terjadi pada tahun ini," terangnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahan Harga BBM, 'Penyakit' Baru Bakal Muncul di Negara Ini