
Patut Dibaca! 5 Ekonom Beberkan Kondisi Indonesia Terkini

2. Head of Economic and Research UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja
Enrico turut memperkirakan ekonomi Indonesia tetap tumbuh pada tahun ini, meskipun sedikit di bawah Andry. Ramalan Enrico adalah 4,8%, sedikit lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, yaitu 5%.
Hal yang patut diwaspadai, kata Enrico adalah inflasi. Keseluruhan tahun diperkirakan inflasi bisa mencapai 4,2-4,5% dengan asumsi adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) selain pangan.
Kebijakan subsidi energi saat ini dianggap sangat tepat untuk menjaga daya beli masyarakat yang bary pulih dari pandemi covid-19. Akan tetapi pemerintah punya batasan, di mana harus menurunkan defisit fiskal hingga ke bawah 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit 2022 ditarget 4,5% PDB.
"Berapa lama kita bisa tahan padahal tahun depan kita harus masuk ke bawah 3% PDB," ujar Enrico.
Enrico melihat ada kondisi yang tidak sinkron antara kebijakan moneter dan fiskal. Bank Indonesia (BI) telah memulai normalisasi dengan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) dengan agresif, sementara Kementerian Keuangan masih ekspansif.
Kenaikan inflasi tersebut, lanjut Enrico akan mendorong perubahan konsumsi di masyarakat. "Kita melihat bahwa kenaikan inflasi akan sebabkan orang untuk mengundur pembelian item barang elektronik, sepeda motor dan lainnya, dan fokus ke sandang dan pangan" paparnya.
Sayangnya situasi ini harus direspons oleh BI dengan kenaikan suku bunga acuan hingga menjadi 4,5% hingga akhir tahun dimulai 0,25% pada Juli 2022. Menurut Enrico dampaknya ke pelemahan ekonomi tidak akan signifikan malah justru menjadi daya tarik investor masuk ke Indonesia.
3. INDEF
INDEF juga mengungkapkan kekhawatiran soal inflasi. Inflasi yang tinggi menekan pertumbuhan ekonomi dan menghambat pemulihan ekonomi. Peningkatan inflasi yang terus menerus dapat menghantam sisi konsumsi rumah tangga dengan berkurangnya nilai riil dari uang yang dipegang.
"Infasi akan semakin berdampak buruk jika tidak diikuti oleh peningkatan upah/gaji yang sebanding," tulis INDEF dalam risetnya.
Indonesia, kata INDEF memerlukan bauran kebijakan dalam mengendalikan inflasi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas. Pengendalian tingkat inflasi tidak dapat hanya mengandalkan salah satu kebijakan dari satu sisi, perlu ada bauran kebijakan dalam mengendalikan dan memitigasi risiko tantangan inflasi di 2022.
Menurut INDEF, apabila BI merespons dengan kenaikan suku bunga acuan, maka akan memukul investasi, khususnya FDI ke negara berkembang karena modal akan condong lari ke negara-negara asalnya dan asset yang aman seperti USD.
"Peningkatan suku bunga BI juga akan mendorong tingkat bunga kredit dalam negeri."
Pemerintah juga perlu mewaspadai kesiapan fiskal. Terutama ketika suku bunga acuan AS semakin tinggi, maka akan membuat biaya penerbitan surat utang menjadi mahal.
"Pembiayaan menjadi sulit dan mahal dengan tingkat suku bunga yang tinggi. Peningkatan suku bunga membuat biaya pembiayaan menjadi mahal baik di tingkat domestik maupun global."
(mij/mij)