Utang China Dibilang Jebakan Betmen, Utang Amerika Sama Saja?

Maesaroh, CNBC Indonesia
28 June 2022 13:50
Gelaran KTT G7

Jakarta, CNBC Indonesia - Kelompok negara kaya G7 berencana menggulirkan program "Partnership for Global Infrastructure and Investment" untuk mendanai proyek infrastruktur di berbagai belahan dunia.

Namun, langkah tersebut dinilai hanya upaya untuk membendung pengaruh China. Kelompok G7 diharapkan lebih berperan dalam menyelesaikan persoalan besar dunia saat ini yakni utang negara miskin yang terus menumpuk daripada menyediakan dana infrastruktur.

Di bawah "Partnership for Global Infrastructure and Investment", tujuh negara yakni Amerika Serikat (AS), Jerman, Inggris, Jepang, Kanada, Italia dan Prancis akan mengumpulkan US$ 600 miliar (sekitar Rp 8.900 triliun) untuk membangun infrastruktur di berbagai belahan dunia.

Dana tersebut diharapkan bisa meningkatkan kualitas infrastruktur negara-negara berkembang dan miskin sehingga pertumbuhan global bisa lebih cepat.

AS akan memobilisasi US$ 200 miliar dalam bentuk hibah, dana federal, dan investasi swasta selama lima tahun ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara itu, negara-negara Eropa akan memobilisasi EUR 300 miliar selama periode yang sama.

"Saya ingin memperjelas. Ini bukan bantuan atau amal. Ini adalah investasi yang akan memberikan keuntungan bagi semua orang. Kita ingin melihat manfaat nyata dari bermitra dengan demokrasi," kata Presiden AS Joseph 'Joe' Biden, seperti dikutip dari Reuters.

Langkah G7 menimbulkan banyak yang pro dan kontra. Sebagian menganggap alternatif G7 positif karena bisa menambah sumber pembiayaan infrastruktur di dunia

Namun, tidak sedikit yang menganggap langkah tersebut sebagai cara G7 membendung program program Belt and Road Initiative (BRI). Program yang digagas China sejak 2014 tersebut bertujuan menyalurkan dana infrastruktur ke berbagai belahan dunia.

Edwin Ikhuoria, eksekutif direktur ONE, mengingatkan bahwa yang dibutuhkan banyak negara saat ini adalah keringanan utang. ONE merupakan organisasi nirlaba yang berjuang untuk mengurangi kemiskinan dan penyakit.

Alih-alih menyalurkan dana infrastruktur, Ikhuoria meminta G7 untuk membebaskan atau meringankan beban utang negara miskin. Dia juga meminta kreditur swasta dari negara G7 untuk melakukan hal yang sama. Ikhuoria mengatakan negara-negara miskin ini terjebak dalam utang yang dipinjamkan oleh kreditur swasta seperti BlackRock.

"Negara-negara miskin ini menghabiskan banyak anggaran untuk membayar BlackRock daripada untuk sektor kesehatan dan pendidikan," tutur Ikhuoria, kepada Deutsche Welle.

Ketika pandemi Covid-19 melanda pada Maret 2020, utang 60% negara termiskin di dunia sudah dalam kondisi risiko tinggi. Dua setengah tahun sejak pandemi, tumpukan utang mereka sudah sampai ke level tertingginya dalam 50 tahun terakhir. Puluhan dari mereka masuk risiko default seperti Sri Lanka.

Negara-negara ini membentang dari Asia hingga Sub-Sahara Afrika. Perekonomian mereka yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi kini diperburuk dengan perang Rusia Ukraina yang memaksa mereka berjuang melawan lonjakan inflasi. Negara-negara ini bahan terpaksa berhutang demi memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti pangan.

Ikhurio mengingatkan bantuan pembangunan infrastruktur kerap dijanjikan negara kaya dan organisasi internasional. Namun, janji bantuan tersebut kerap hanya menimbulkan hype di mata public. Janji dana tersebut acap kali tidak sampai atau gagal terpenuhi.

"Saatnya mereka menjadikan janji yang sekarang sebagai kenyataan bukan hanya visi semata. Dengan kemampuannya, mereka tentu saja bisa menyalurkan ratusan juta," ujar Ikhuoria.

Sebagai catatan, sebelum "Partnership for Global Infrastructure and Investment"yang dijanjikan anggota G7 pekan ini, pada November 2021 AS bersama G7 juga meluncurkan program Build Back Better World yang bertujuan membantu pembangunan infrastruktur di Afrika.

Senada, eksekutif dari Aspen Institute Germany Stormy-Annika Mildner mengatakan banyak hal yang bisa dilakukan anggota G7 daripada hanya menyediakan dana pembangunan infrastruktur.

"Jika kita serius bahwa negara-negara lain tidak ingin beralih ke China dan Rusia maka mereka harus memberikan kontribusi finansial dan memberikan keringanan utang," tuturnya.

Sejumlah pihak juga mengatakan G7 bisa berperan lebih dalam mengurangi beban negara miskin yakni dengan mereformasi Dana Moneter Internasional (IMF) daripada menyalurkan dana infrastruktur. Negara G7 adalah pemegang saham mayoritas di IMF dan Bank Dunia, serta pemain kunci kreditor Paris Club.

Mereka bisa membantu negara-negara miskin dengan mereformasi IMF. Sejak pandemi Covid-19, IMF sudah memberikan pinjaman kepada 150 negara tetapi pinjaman mereka kerap disertai syarat ketat sehingga membuat negara tidak bebas dalam menentukan kebijakan fiskalnya.

China telah menanggapi inisiatif G7 yang akan menggulirkan dana infrastruktur ke berbagai penjuru dunia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan China menyambut baik inisiatif dalam pembangunan infrastruktur G7. Namun, Beijing menentang perhitungan geopolitik di bawah program pembangunan infrastruktur G7 serta kata-kata yang mencoba menodai dan BRI.

"Apa yang diinginkan komunitas internasional adalah uang dan proyek yang benar-benar memberi manfaat ke masyarakat," tutur  Zhao, seperti dikutip dari South China Morning Post.

Seperti diketahui, BRI milik China dikritik negara-negara Barat karena dinilai menjadi jebakan utang bagi negara-negara berkembang dan miskin.

Guyuran dana China dalam membangun infrastruktur kepada negara-negara lain justru membuat banyak negara terbebani karena mereka harus mendatangkan pinjaman besar dari China. Tak jarang, pinjaman tersebut disertai dengan biaya bunga tinggi. Deretan negara yang dinilai "terjebak" dalam utang China di antaranya adalah Laos, Pakistan, Sri Lanka, serta puluhan negara kecil di Afrika.

BRI diluncurkan pada 2014 dan diperkirakan nilai investasinya mencapai US$ 1 triliun. Investasi tersebut disalurkan kepada negara-negara berkembang dan miskin di Asia, Eropa, hingga Afrika. Dana tersebut diinvestasikan untuk membangun jalan raya, jembatan, jalur kereta api, bendungan, hingga jembatan.

Pada periode 2006-2019, China menanamkan investasi senilai US$ 12,1 miliar dalam pembangunan infrastruktur Sri Lanka. Termasuk didalamnya adalah membangun Pelabuhan Hambantota yang dikritik lawan politik President Mahinda Rajapaksa karena dinilai berbau nepotisme.

Beban utang dan krisis ekonomi serta politik membuat Sri Lanka tak mampu membayar kewajibannya. Sri Lanka sudah dinyatakan default karena tak mampu membayar bunga utang senilai US$ 73 juta pada Mei lalu.

Pakistan sendiri memiliki 26 proyek dengan China yang tertuang dalam China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). Termasuk di dalamnya adalah delapan proyek energi, empat transportasi, satu komunikasi, tiga pendidikan, dua perbankan dan jasa keuangan, satu rekonstruksi dan rehabilitasi, serta dua pemerintah dan masyarakat sipil.

Studi IMF menunjukkan utang luar negeri Pakistan menggelembung menjadi US$ 90,12 miliar pada April 2021, dengan kota Islamabad berutang kepada China US$24,7 miliar atau lebih dari 27% beban utang Pakistan.

Negara lain yang tengah disorot adalah Laos. Pada periode 2008-2019, China menandatangani sejumlah pinjaman dengan China senilai US$ 5 miliar untuk membiayai sejumlah infrastruktur.

Laos juga membangun US$ 6 miliar jalur kereta yang menghubungkan ibu kota Vientiane dengan kota selatan di China Kunming dengan bantuan dana China Namun, sejumlah pihak menilai infrastruktur tersebut tidak akan menguntungkan dan hanya menambah utang pemerintah semata.

"Utang tersebut akan menjadi beban jangka panjang dan membatasi kemampuan pemerintah dalam menaikkan pajak," tutur Jonathan Andrew Lane dalam laporan yang dikeluarkan Asian Development Bank Institute.

AidData, lembaga riset dari American University William & Mary, mengatakan Laos memiliki utang tersembunyi dengan di bawah kerja sama joint venture China, termasuk dengan tiga BUMN China senilai US$ 3,54 miliar. Puluhan negara lain juga kini dihadapkan pada beban utang dari China yang membesar.

Negara-negara seperti Djibouti, Laos, Zambia and Kyrgyzstan rata-rata memiliki utang terhadap 20% Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.

Namun, China menentang keras jika mereka dianggap menjebak negara lain melalui bantuan infrastruktur. China mengatakan narasi tersebut sengaja diciptakan Negara Barat.

China juga sudah meringankan beban sejumlah negara dengan merestrukturisasi utang mereka. Pada 2018, China sudah merestrukturisasi utang dengan Ethiopia senilai US$ 4 miliar dalam pendanaan pembangunan jalur kereta. Utang diperpanjang 20 tahun dan China juga mengalami banyak kerugian dalam proyek tersebut.
Beijing juga sudah merestrukturisasi utang dengan Kamerun dan Mozambik.

Indonesia memiliki sejumlah proyek infrastruktur yang dibiayai China mulai dari Kereta Cepat Jakarta-Bandung dengan nilai investasi Rp 56 triliun, Tol Medan-Kualanamu senilai Rp 1,4 triliun, hingga Waduk Jatigede senilai Rp 4 triliun.

Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio, mengingatkan masing-masing negara memiliki karakteristik dalam memberikan pinjaman.

"Kalau sama China itu gampang di depan sulit di belakang. Kalau Jepang kan sulit di awal tapi gampang di belakang.

"Ini kan soal keseimbangan, ekuilibrium. Apakah mau ambil China sepenuhnya atau setengahnya. Tinggal pemerintah mau yang mana," tutur Agus Pambagio, kepada CNBC Indonesia.

Agus mengingatkan proyek infrastruktur tidak boleh dibangun terburu-buru. Setiap rencana harus dibuat matang, termasuk dalam membahas tingkat bunga yang harus dibayar, tenaga kerja, serta penggunaan komponen dalam negeri.

"Kalau kita orangnya rundingan-rundingan. Tidak boleh begitu. Harus dipetakan mana yang  jadi kebutuhan prioritas, mana yang dibutuhkan masyarakat," imbuhnya.

Agus menambahkan rencana pembangunan infrastruktur harus juga mempertimbangkan sarana pendukungnya.  Infrastruktur membutuhkan anggaran yang besar sehingga akan sangat merugikan jika tidak dimanfaatkan masyarakat karena sarana pendukungnya tidak memadai.

"Harus dilihat juga investor mana yang paling memungkinkan, deal politiknya seperti apa juga. Ini tidak ada yang gratis," ujarnya.

AidData mengatakan Indonesia memiliki utang tersembunyi dengan China terkait proyek infrastruktur senilai US$ 17 miliar. Indonesia juga dinilai memiliki risiko default karena China. Namun, data Bank Indonesia menunjukkan utang China ke Indonesia mengalami penurunan.

Berdasarkan data Bank Indonesia, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia menyusut pada periode April 2022. ULN kini tersisa US$ 409,5 miliar atau Rp 6.031.52 triliun, dengan asumsi US$ 1 setara Rp 14.729.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nominal tersebut turun dibandingkan bulan sebelumnya US$ 412,1 miliar (Rp 6.069,82 triliun). Nilai utang dari China juga mengalami penurunan sekitar US$ 300 juta atau 1,5% dibandingkan sebelumnya menjadi US$ 21,72 miliar.


 

TIM RISET CNBC INDONESIA

 


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ramai-ramai Negara Masuk Jebakan Batman Utang China, RI Kena?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular