
Sri Lanka dan Pakistan Krisis, Indonesia Masih Kuat!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah meyakini Indonesia tidak akan bernasib sama dengan Sri Lanka dan Pakistan. Kedua negara itu sedang mengalami krisis utang.
Perang Rusia-Ukraina menyebabkan harga komoditas melonjak, salah satunya minyak. Maklum, Rusia adalah salah satu produsen minyak utama dunia. Perang tentu menyebabkan produksi dan distribusi minyak terhambat.
Selain itu, serbuan ke Ukraina juga membuat Rusia terkena sanksi ekonomi. Amerika Serikat (AS) sudah melarang impor minyak dari Negeri Beruang Merah. Negara-negara Eropa bakal menerapkan kebijakan yang sama.
Akibatnya, pasokan minyak di pasar dunia jadi seret. Wajar kalau harga melesat.
Hal ini tentu sangat menyulitkan bagi negara-negara yang menggantungkan hidup dari impor minyak. Mengutip kajian Fitch Solutions, sebagian besar negara-negara Asia tergantung terhadap pasokan minyak dari luar negeri.
"Tekanan ekonomi kemungkinan akan menghantam Sri Lanka dan Pakistan karena keduanya adalah importir energi dan memiliki defisit transaksi berjalan yang lebar. Defisit transaksi berjalan Pakistan bisa mencapai 4,3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) sementara Sri Lanka di 4,4% PDB apabila harga minyak terus bertahan di atas US$ 125/barel," tulis riset Fitch Solutions.
![]() crude |
Apa Kabar Indonesia?
Kementerian Keuangan optimistis Indonesia tidak akan bernasib sama seperti Sri Lanka atau Pakistan. Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian keuangan, menyebut fundamental ekonomi Tanah Air jauh lebih sehat.
"Kami sampaikan Indonesia termasuk negara yang resilient dalam menghadapi pandemi dan gejolak saat ini," tegasnya dalam konferensi pers APBN Kita edisi Juni 2022, Kamis (23/6/2022).
Menurut Febrio, ada dua kunci utama kekuatan Indonesia. Satu, kebijakan fiskal Indonesia lebih disiplin. Utang pemerintah tetap terjaga, sebelum pandemi stabil di bawah 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Bandingkan dengan Sri Lanka dan Pakistan, pada 2019 utang pemerintahnya masing-masing 87% dan 86% dari PDB. Bisa tiga kali lipat dari Indonesia," tegasnya.
Kedua, fundamental ekonomi Indonesia cukup kokoh. Ukuran stabilitas fundamental ekonomi kerap kali menggunakan indikator transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal I-2022, transaksi berjalan Indonesia mencatat surplus US$ 0,2 miliar atau 0,1% dari PDB. Ini membuat transaksi berjalan alias current account mengalami surplus tiga kuartal beruntun.
"Saat ini current account surplus. Pada 2022, IMF (Dana Moneter Internasional) memperkirakan bisa di atas 3% dari PDB," ungkap Febrio.
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Krisis Sri Lanka Makin Parah, Anak-Anak Putus Sekolah Massal