Internasional

AS Cs Punya "Senjata" Baru Jegal Utang China, Ampuh?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
28 June 2022 15:00
Presiden Joko Widodo tiba di lokasi KTT G7 di Schloss Elmau, Jerman, disambut oleh Kanselir Jerman Olaf Scholz, Senin siang, 27 Juni 2022. Dalam sesi penyambutan resmi oleh Kanselir Jerman tersebut, Presiden hadir bersama pemimpin dari negara mitra G7 yaitu Presiden Argentina Alberto Fernández, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Senegal Macky Sall, dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Joko Widodo tiba di lokasi KTT G7 di Schloss Elmau, Jerman, disambut oleh Kanselir Jerman Olaf Scholz, Senin siang, 27 Juni 2022. Dalam sesi penyambutan resmi oleh Kanselir Jerman tersebut, Presiden hadir bersama pemimpin dari negara mitra G7 yaitu Presiden Argentina Alberto Fernández, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden Senegal Macky Sall, dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - G7 resmi mengumumkan program pendanaan infrastruktur baru yang dapat menyaingi Belt and Road Initiative (BRI) China. Program itu bernama "Partnership for Global Infrastructure and Investment".

Dalam pertemuan pada Minggu (26/6/2022) lalu, para pemimpin negara-negara maju berjanji mengumpulkan US$ 600 miliar atau sekitar Rp 8.900 triliun untuk membendung pinjaman utang China ke negara-negara berkembang. Lalu seberapa ampuh "senjata" baru ini?

Hal ini masih harus dilihat lagi. Setidaknya itu dikatakan CEO lembaga penelitian ISEAS-Yusof Ishak Institute yang berbasis di Singapura, Choi Shing Kwok.

"Itu memang menjanjikan sesuatu yang mungkin tidak dimiliki BRI pada awalnya," kata Choi, kepada CNBC International, dikutip Selasa.

"Ini menjanjikan infrastruktur keras dan lunak, menjanjikan pendekatan yang lebih holistik."

BRI adalah program ambisius China untuk membangun infrastruktur fisik dan digital yang menghubungkan puluhan negara mulai dari Asia hingga Eropa dan Timur Tengah. Ini adalah inti dari kebijakan luar negeri Presiden China Xi Jinping.

Choi mengakui bahwa mungkin tidak sepenuhnya adil untuk membandingkan kedua proyek. Terutama karena BRI telah berjalan selama 10 tahun dan ada sedikit rincian dalam proposal kemitraan G7.

Dalam dekade terakhir ini, Beijing telah menandatangani lebih dari 170 perjanjian kerja sama BRI. Meliputi d125 negara dan 29 organisasi internasional di seluruh Asia dan Eropa, serta Afrika, Amerika Latin, dan Pasifik Selatan, menurut data resmi.

Hampir US$800 miliar investasi telah dilakukan di dalam BRI, melebihi investasi yang saat ini dijanjikan oleh G7. Triliunan dolar lebih banyak diharapkan akan diinvestasikan melalui proyek infrastruktur China ke dalam jaringan yang terdiri dari enam koridor pembangunan.

"Proyek infrastruktur G7 lebih baik daripada pendekatan awal untuk BRI, yang dilakukan dengan pendekatan yang agak terdesentralisasi, saya katakan sedikit demi sedikit," kata Choi.

"BRI tidak memiliki ketelitian dalam memastikan semua proyek secara ekonomi sehat dan ramah lingkungan," katanya, menambahkan rencana G7 tampaknya lebih ramah iklim dan dirancang untuk memastikan negara penerima mendapat manfaat dari investasi.

"Tetapi setelah mengatakan itu, China telah mengubah pendekatannya terhadap BRI dalam beberapa tahun terakhir dan lebih banyak uang sekarang mengalir ke proyek-proyek yang lebih sehat," tambahnya lagi.

Amerika Serikat (AS) cs sendiri akan menjaring dana swasta dan publik selama lima tahun untuk membiayai infrastruktur yang dibutuhkan di negara-negara berkembang.

Presiden AS Joe Biden mengatakan akan memobilisasi US$200 miliar dalam bentuk hibah, dana federal, dan investasi swasta selama lima tahun ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ini juga untuk membantu mengatasi perubahan iklim serta meningkatkan kesehatan global, kesetaraan gender, dan infrastruktur digital.

Eropa sendiri akan memobilisasi 300 miliar euro selama periode yang sama. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan ini akan jadi alternatif skema pembiayaan lain dari BRI China.

Menurut data Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Asia sendiri membutuhkan sekitar US$26 triliun untuk membayar pembangunan infrastruktur, termasuk proyek hijau hingga 2030.



[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rusia Minggir! AS Cs Buat "Rudal" Baru Lawan Utang China

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular