
Utang China Dibilang Jebakan Betmen, Utang Amerika Sama Saja?

China telah menanggapi inisiatif G7 yang akan menggulirkan dana infrastruktur ke berbagai penjuru dunia. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan China menyambut baik inisiatif dalam pembangunan infrastruktur G7. Namun, Beijing menentang perhitungan geopolitik di bawah program pembangunan infrastruktur G7 serta kata-kata yang mencoba menodai dan BRI.
"Apa yang diinginkan komunitas internasional adalah uang dan proyek yang benar-benar memberi manfaat ke masyarakat," tutur Zhao, seperti dikutip dari South China Morning Post.
Seperti diketahui, BRI milik China dikritik negara-negara Barat karena dinilai menjadi jebakan utang bagi negara-negara berkembang dan miskin.
Guyuran dana China dalam membangun infrastruktur kepada negara-negara lain justru membuat banyak negara terbebani karena mereka harus mendatangkan pinjaman besar dari China. Tak jarang, pinjaman tersebut disertai dengan biaya bunga tinggi. Deretan negara yang dinilai "terjebak" dalam utang China di antaranya adalah Laos, Pakistan, Sri Lanka, serta puluhan negara kecil di Afrika.
BRI diluncurkan pada 2014 dan diperkirakan nilai investasinya mencapai US$ 1 triliun. Investasi tersebut disalurkan kepada negara-negara berkembang dan miskin di Asia, Eropa, hingga Afrika. Dana tersebut diinvestasikan untuk membangun jalan raya, jembatan, jalur kereta api, bendungan, hingga jembatan.
Pada periode 2006-2019, China menanamkan investasi senilai US$ 12,1 miliar dalam pembangunan infrastruktur Sri Lanka. Termasuk didalamnya adalah membangun Pelabuhan Hambantota yang dikritik lawan politik President Mahinda Rajapaksa karena dinilai berbau nepotisme.
Beban utang dan krisis ekonomi serta politik membuat Sri Lanka tak mampu membayar kewajibannya. Sri Lanka sudah dinyatakan default karena tak mampu membayar bunga utang senilai US$ 73 juta pada Mei lalu.
Pakistan sendiri memiliki 26 proyek dengan China yang tertuang dalam China-Pakistan Economic Corridor (CPEC). Termasuk di dalamnya adalah delapan proyek energi, empat transportasi, satu komunikasi, tiga pendidikan, dua perbankan dan jasa keuangan, satu rekonstruksi dan rehabilitasi, serta dua pemerintah dan masyarakat sipil.
Studi IMF menunjukkan utang luar negeri Pakistan menggelembung menjadi US$ 90,12 miliar pada April 2021, dengan kota Islamabad berutang kepada China US$24,7 miliar atau lebih dari 27% beban utang Pakistan.
Negara lain yang tengah disorot adalah Laos. Pada periode 2008-2019, China menandatangani sejumlah pinjaman dengan China senilai US$ 5 miliar untuk membiayai sejumlah infrastruktur.
Laos juga membangun US$ 6 miliar jalur kereta yang menghubungkan ibu kota Vientiane dengan kota selatan di China Kunming dengan bantuan dana China Namun, sejumlah pihak menilai infrastruktur tersebut tidak akan menguntungkan dan hanya menambah utang pemerintah semata.
"Utang tersebut akan menjadi beban jangka panjang dan membatasi kemampuan pemerintah dalam menaikkan pajak," tutur Jonathan Andrew Lane dalam laporan yang dikeluarkan Asian Development Bank Institute.
AidData, lembaga riset dari American University William & Mary, mengatakan Laos memiliki utang tersembunyi dengan di bawah kerja sama joint venture China, termasuk dengan tiga BUMN China senilai US$ 3,54 miliar. Puluhan negara lain juga kini dihadapkan pada beban utang dari China yang membesar.
Negara-negara seperti Djibouti, Laos, Zambia and Kyrgyzstan rata-rata memiliki utang terhadap 20% Produk Domestik Bruto (PDB) mereka.
Namun, China menentang keras jika mereka dianggap menjebak negara lain melalui bantuan infrastruktur. China mengatakan narasi tersebut sengaja diciptakan Negara Barat.
China juga sudah meringankan beban sejumlah negara dengan merestrukturisasi utang mereka. Pada 2018, China sudah merestrukturisasi utang dengan Ethiopia senilai US$ 4 miliar dalam pendanaan pembangunan jalur kereta. Utang diperpanjang 20 tahun dan China juga mengalami banyak kerugian dalam proyek tersebut.
Beijing juga sudah merestrukturisasi utang dengan Kamerun dan Mozambik.
