Ini Biang Kerok Bikin Petani & Pabrik Sawit Megap-megap

Damiana Cut Emeria, CNBC Indonesia
24 June 2022 15:10
Bongkar Muat Minyak Crude Palm Oil (CPO) (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Bongkar Muat Minyak Crude Palm Oil (CPO) (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan ekspor minnyak sawit nasional pada April 2022 turun jadi 2,089 juta dibandingkan April 2021 yang mencapai 2,636 juta ton. Meski sedikit baik dibandingkan Maret 2022 yang tercatat 2,018 juta ton.

Dengan stok awal April 2022 sebesar 5,683 juta ton, ditambah produksi (CPO dan CPKO) bulan April 2022 mencapai 4,255 juta ton, lalu ditambah impor 5 ton, maka stok akhir bulan April 2022 adalah 6,103 juta ton. Dimana total konsumsi lokal hanya 1,752 juta ton.

Angka stok akhir April itu melonjak dibandingkan Maret 2022 yang 5,683 juta ton dan 3,269 juta ton di April 2021.

Angka stok ini adalah tertinggi, setidaknya sejak 6 tahun terakhir.

"Kalau melihat data stok akhir tahun lalu, stok kita tidak pernah menyentuh 5 juta ton.Jadi kalau saat ini stok udah 6 juta ton, ini sudah gawat darurat. Ini adalah rekor dan maksimum. Makanya PKS (pabrik kelapa sawit) banyak yang sudah tutup, tidak bisa lagi produksi CPO karena tidak tertampung. Akibatnya TBS petani tidak tertampung lagi dan harga TBS petani anjlok dan banyak tidak memanen buah lagi," kata Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/6/2022).

Hal senada disampaikan Sekjen Gapki Eddy Martono. Menurut Eddy, hingga saat ini, ekspor belum berjalan normal.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya (CPO dan turunannya) mulai 28 April hingga 22 Mei 2022. Kebijakan itu kemudian menuai protes karena memicu penumpukan tangki-tangki CPO di PKS. Ditambah melambatnya penyerapan industri pengolahan atau refinery.

Pemerintah kemudian meluncurkan program percepatan ekspor atau 'flush out' mulai Juni hingga 31 Juli 2022.

"Ekspor CPO sudah mulai jalan walaupun belum normal, diperkirakan baru bulan Juli akan normal. Stok 6,1 juta ton memang cukup tinggi.Saya tidak berani bilang rekor sebab mesti cek data-data yang lalu. Tapi kalau dikatakan tinggi ya, sebab rata-rata stok kita 4 jutaan ton," ujar Eddy kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/6/2022).

Jika merunut data GAPKI hingga tahun 2016, berikut pergerakan stok minyak sawit nasional setiap tahunnya hingga April 2022:

- Tahun 2016
produksi: 35,57 juta ton
ekspor: 26,57 juta ton
stok: 3,75 juta ton

- Tahun 2017
produksi: 41,98 juta ton
ekspor: 32,18 juta ton
stok: 4,02

- Tahun 2018
produksi: 47,38 juta ton
ekspor: 34,71 juta ton
stok: 3,26 juta ton

- Tahun 2019
produksi: 51,82 juta ton
ekspor: 36,17 juta ton
stok: 4,59 juta ton

- Tahun 2020
produksi: 51,57 juta ton
ekspor: 34,00 juta ton
stok: 4,86 juta ton

- Tahun 2021
produksi: 51,3 juta ton
ekspor: 34,23 juta ton
stok: 3,57 juta ton

- Tahun 2022 (per April 2022)
produksi: 16,46 juta ton
eskpor: 8,38 juta ton
stok: 6,10 juta ton.

Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)
Ilustrasi Kelapa Sawit (CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara)

"Kita rata-rata ekspor per bulan 3 jutaan ton (kondisi lancar/ normal). Larangan ekspor baru dicabut 23 Mei 2022. Kalau bulan Juli ekspor lancar, sekitar September seharusnya sudah turun di 4 jutaan ton (stok akhir). Sebab, tren produksi juga akan cenderung turun," kata Eddy.

Menurut Eddy, jika penumpukan di tangki CPO terus berlanjut, akan menimbulkan kerusakan.

"Kalau tidak ada treatment pemanasan, ya bisa rusak," kata Eddy.

Karena itu, Tungkot meminta pemerintah harus segera menghapus kebijakan DMO dan DPO yang dinilai sebagai biang kerok persoalan minyak sawit hingga saat ini.

"Hitungannya, setiap bulan produksi minyak sawit itu sekitar 4 juta ton, ekspor 3 juta ton. Lalu stok akhir akan sekitar 2-3 juta ton. Itu kondisi alamiahnya. Tapi, karena ada DMO dan DPO, apalagi dengan rasio 1:5, dimana DMO 300 ribuan ton, berarti yang bisa diekspor adalah 1,5 jutaan ton. Artinya, ada akumulasi penumpukan di tangki CPO. Kepenuhan, PKS pun mengurangi pembelian TBS, akhirnya petani nggak lagi mau panen," jelas Tungkot.

Tungkot mengaku, menerima keluhan petani sawit di Riau, Aceh, hingga Kalimantan. Yang memutuskan akan berhenti memanen TBS karena anjloknya harga. Juga, karena sudah ditolak oleh PKS yang tangki CPO-nya kepenuhan.

"Itu nyata terjadi dan masuk akal. Benar-benar terjadi. Makanya ini kondisinya darurat. Kalau perusahaan yang besar-besar tentu masih tenang, dia menyelamatkan PKS-nya sendiri. Menyelamatkan TBS-nya sendiri. Nggak terima lagi TBS pihak ketiga. Jadi, korban kebijakan pemerintah ini, DMO dan DPO ini adalah petani," kata Tungkot.

Akibatnya, kata dia, banyak petani enggan panen. Jika petani tidak panen lagi, Indonesia akan menanggung akibatnya dalam 3-6 bulan ke depan. Dimana, penundaan panen akan merusak tanaman sehingga tak lagi berbunga dan mengganggu proses pembuahan.

"Ini menjadi tidak adil. Seharusnya kebijakan pemerintah berpihak ke yang lemah. Sekarang, harga TBS turun tiap hari, petani sudah banyak nggak mau panen. Ini artinya petani akan kehilangan mata pencaharian. Ini menyangkut nasib 2,5 juta kepala keluarga petani sawit, yang akan jatuh miskin, menganggur, akan kekurangan makan," pungkas Tungkot.

Sebelumnya, Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat ME Manurung mengungkapkan, ada ratusan pabrik kelapa sawit yang saat ini buka tutup operasional.

"Hasil rapat APKASINDO (21/6) diketahui dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi, sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup. Apakah ini juga karena harga CPO global lagi turun?," tukas Gulat.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sawit Petani Gak Laku, Begini Efek Seram Bagi RI! Bisa Rusuh?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular