
Sawit Petani Gak Laku, Begini Efek Seram Bagi RI! Bisa Rusuh?

Jakarta, CNBC Indonesia - Petani sawit tengah menjerit akibat anjloknya harga tandan buah segar (TBS). Bahkan, TBS petani kecil swadaya dilaporkan ada yang hanya dihargai Rp 600 per kg.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI) Tungkot Sipayung mengatakan, pemerintah harus segera turun tangan menyelesaikan persoalan tersebut. Apalagi, lanjut dia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini selalu menyoroti ancaman krisis pangan.
"Ada 2,5 juta kepala keluarga petani sawit, atau sekitar 10 juta orang. Belum lagi pekerja di sektor sawit. Mereka terancam kehilangan mata pencaharian, artinya terancam kena krisis pangan. Tidak ada lagi uang penjualan TBS, tidak ada lagi biaya sekolah, tidak lagi bekerja, tidak ada uang untuk makan. Ini bisa memicu konflik, kerusuhan horizontal," kata Tungkot kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/6/2022).
Dia menambahkan, laporan petani mengenai banyaknya pabrik kelapa sawit (PKS) bukanlah gertakan kosong.
"Itu nyata terjadi, dan masuk akal. Saya saya sampai saat ini masih menerima laporan banyak petani yang akhirnya nggak mau panen lagi. Karena PKS sudah nolak, PKS-nya pun sudah tutup karena kebanyakan stok CPO. Karena ekspornya nggak jalan atau minim," kata Tungkot.
Karena itu, dia menambahkan, pemerintah harus segera menghapus kebijakan DMO dan DPO yang dinilai sebagai biang kerok persoalan minyak sawit hingga saat ini.
"Nggak perlu pakai flush out-flush out. Cabut DMO dan DPO, kembalikan tarif pungutan ekspor ke sebelumnya, dimana total dibayar kalau harga tertinggi adalah US$575 per ton (bea keluar tambah pungutan ekspor BPDPKS). Itu sudah cukup memacu ekspor dan menjaga pasokan bahan baku di dalam negeri tetap ada," kata Tungkot.
"Hitungannya, setiap bulan produksi minyak sawit itu sekitar 4 juta ton, ekspor 3 juta ton. Lalu stok akhir akan sekitar 2-3 juta ton. Itu kondisi alamiahnya. Tapi, karena ada DMO dan DPO, apalagi dengan rasio 1:5, dimana DMO 300 ribuan ton, berarti yang bisa diekspor adalah 1,5 jutaan ton. Artinya, ada akumulasi penumpukan di tangki CPO. Kepenuhan, PKS pun mengurangi pembelian TBS, akhirnya petani nggak lagi mau panen," jelas Tungkot.
Jika petani tidak panen lagi, ujarnya, Indonesia akan menanggung akibatnya dalam 3-6 bulan ke depan. Dimana, penundaan panen akan merusak tanaman sehingga tak lagi berbunga dan mengganggu proses pembuahan.
"Produksi kita akan drop. Muncul masalah baru lagi. Solusinya, buka keran ekspor segera, cabut DMO dan DPO. Kalau dirasa kurang pasokan bahan baku dalam negeri, turunkan Bulog, kasih uang ke Bulog," kata Tungkot.
"Ini kondisinya darurat. Selama ini petani sudah berusaha menahan diri. Pemerintah harus buat kebijakan yang adil. Sekarang harga TBS turun terus, kalau petani semakin miskin, bisa stres. Padahal selama ini petani itu sudah sabar, tidak mau dibentrok-bentrokkan," tukas Tungkot.
Sebelumnya, Menurut Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Gulat ME Manurung mengungkapkan, harga tandan buah segar (TBS) petani sawit swadaya per Kamis (23/6/2022) adalah Rp1.150/kg dan petani bermitra Rp2.010/kg.
"Harga ini 50-70% di bawah harga normal jika berdasarkan harga CPO Internasional (US$1.450/ton). Pemerintah harus gerak cepat untuk mendongkrak harga TBS petani dengan cara mencabut peraturan yang menekan harga TBS petani," kata Gulat dalam keterangan tertulis dikutip Jumat, (24/6/2022).
Menurut dia, anjloknya harga adalah akibat lanjutan kebijakan pemerintah yang menahan laju ekspor.
Saat ini, dia menambahkan, sekitar 17 juta petani dan pekerja di sektor sawit harus menghadapi kondisi akibat kebijakan tersebut. Dan meminta Presiden Jokowi mencabut kebijakan DMO dan DPO, juga flush out.
"Hasil rapat APKASINDO (21/6) diketahui dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi, sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup. Apakah ini juga karena harga CPO global lagi turun?," tukas Gulat.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Biang Kerok Bikin Petani & Pabrik Sawit Megap-megap