Inflasi RI Aman Meski BI "Nyuntik" Rp 800 T, Apa Rahasianya?

Bank Indonesia sejauh ini masih enggan untuk menaikkan suku bunga. Pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin, BI mempertahankan suku bunga acuannya.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada22-23Juni2022memutuskan untuk mempertahankan BI7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry, dalam jumpa pers usai RDG, Kamis (22/6/2022).
Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia, dan sudah ditahan selama 16 bulan.
"Keputusan ini sejalan dengan upaya pengendalian inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah. Ditambah dengan adanya tekanan eksternal terkait dengan risiko stagflasi di berbagai negara," lanjut Perry.
Namun, BI sebelumnya juga mengambil langkah pengetatan likuiditas dengan menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap hingga September nanti.
Kenaikan GWM tersebut diperkirakan bisa menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp 110 triliun, tetapi juga tidak mengganggu kemampuan bank untuk menyalurkan kredit. Sebab rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) diperkirakan berada di kisaran 28%, jauh lebih longgar ketimbang sebelum pandemi sekitar 21%.
Dengan kebijakan tersebut, diharapkan inflasi bisa terkendali, dan tidak meredam momentum pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, nilai tukar rupiah menjadi salah satu faktor yang bisa memicu inflasi. Jika nilai tukar rupiah merosot tajam, maka inflasi berisiko meninggi. BI sepanjang tahun ini sukses mengawal pergerakan rupiah.
Memang belakangan ini tekanan terhadap rupiah semakin membesar setelah bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.
Ketua The Fed, Jerome Powell juga menyatakan di bulan depan suku bunga bisa dinaikkan lagi sebesar 50-75 basis poin. Sementara di akhir tahun, suku bunga diproyeksikan berada di 3,25% - 3,5%.
Rupiah memang tertekan akibat kenaikan suku bunga tersebut, tetapi kinerjanya masih cukup bagus ketimbang mata uang Asia lainnya.
Sepanjang tahun ini pelemahan rupiah tercatat sekitar 4%, terbaik kedua dibandingkan mata uang utama Asia lainnya. Rupiah hanya kalah dari dolar Singapura yang melemah 3%.
Pelemahan rupiah yang tidak terlalu besar di tahun ini membuat BI memiliki ruang untuk mempertahankan suku bunga, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Selain itu, melihat porsi asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang saat ini sekitar 17%, turun jauh ketimbang sebelum pandemi di kisaran 30%, capital outflow yang terjadi tentunya tidak akan sebesar tahun 2020 saat awal masa pandemi.
BI juga punya cadangan devisa yang cukup besar guna menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak yang berlebihan. Sehingga, selama nilai tukar rupiah stabil, diharapkan inflasi masih bisa terkendali.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
