Inflasi RI Aman Meski BI "Nyuntik" Rp 800 T, Apa Rahasianya?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 June 2022 14:05
Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juni 2022
Foto: Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juni 2022

Jakarta, CNBC Indonesia - "Tsunami" inflasi sedang melanda negara Barat, dan beberapa negara di kawasan Asia. Bahkan negara tetangga, Singapura, juga mengalaminya.

Kemarin data dari Biro Statistik Singapura menunjukkan inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) tumbuh 5,6% year-on-year (yoy), dari bulan sebelumnya 5,4% (yoy). Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi dalam lebih dari satu dekade terakhir, tepatnya sejak November 2011.

Inflasi inti juga semakin menanjak menjadi 3,6% (yoy) dibandingkan April 3,3% (yoy).

Sementara Indonesia sejauh ini sukses mengendalikan inflasi. Di awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi Indonesia pada Mei 2022 sebesar 3,55% (yoy) yang menjadi rekor tertinggi sejak Desember 2017.

BPS juga mencatat inflasi inti pada Mei menyentuh 2,58% (yoy), melandai dibandingkan April yang menembus 2,60% (yoy).

Meski menanjak, inflasi tersebut masih berada dalam rentang target Bank Indonesia (BI) sebesar 2% - 4%. Gubernur BI, Perry Warjiyo, memprediksi di akhir tahun ini inflasi berada di kisaran 4,2%.

Artinya, meski sedikit lebih tinggi dari target, tetapi masih bisa dikatakan terkendali.

Terkendalinya inflasi di Indonesia bahkan terjadi saat BI menyuntikkan likuiditas besar ke perekonomian melalui kebijakan burden sharing dengan pemerintah.

Seperti diketahui, dalam menangani pandemi penyakit virus corona (Covid-19), BI membantu pemerintah dalam pendanaan APBN melalui skema burden sharing. BI menjadi standby buyer Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer.

Skema burden sharing ini sudah dilakukan sejak awal pandemi Covid-19, dan akan berakhir tahun ini.

Pada tahun 2020, BI telah membeli SBN dalam skema burden sharingsebesar Rp 473,42 triliun. Sepanjang 2021, BI telah membeli SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp 358,32 triliun.

Artinya selama 2020 dan 2021 BI menyuntikkan likuiditas sekitar Rp 830 triliun ke perekonomian. Dan di tahun ini, BI menargetkan pembelian SBN senilai Rp 224 triliun.

Burden sharing yang dilakukan BI sejak 2020 dikhawatirkan akan memicu lonjakan inflasi. Tetapi, nyatanya tidak terjadi atau masih belum terjadi hingga saat ini.

Penggunaan skema burden sharing didasarkan pada kelompok pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit.

Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (k/l) dan pemerintah daerah (pemda).

Yang menarik, dengan besarnya burden sharing dan disuntikkan ke masyarakat, inflasi di dalam negeri masih saja tetap rendah.Sepanjang 2020 inflasi hanya sebesar 1,68%, cukup jauh di bawah target BI 3% plus minus 1%. Sementara pada 2021 inflasi tercatat sebesar 1,87%, lagi-lagi di bawah target BI.

Apakah ini artinya BI sukses mengendalikan inflasi? Atau daya beli masyarakat memang sangat terpukul akibat akibat pandemi Covid-19, sehingga suntikan likuiditas BI masih belum mampu mendongkrak belanja?

Jika itu yang terjadi, burden sharing sepertinya tidak berdampak signifikan ke inflasi. Tetapi, seandainya masyarakat menahan konsumsi dalam 2 tahun terakhir, ada risiko belanja besar baru akan terjadi di tahun ini dan inflasi berisiko meroket.

Selama pandemi Covid-19, roda perekonomian tersendat-sendat. Pemerintah berulang kali mengetatkan maupun mengendurkan pembatasan sosial. Dipenuhi ketidakpastian, ada kemungkinan masyarakat menahan konsumsi.

Sementara di tahun ini, pembatasan sosial sudah dilonggarkan dan roda perekonomian sehingga masyarakat tentunya lebih berani meningkatkan belanja rumah tangga

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Sedot Likuiditas, Jaga Nilai Tukar Rupiah

Bank Indonesia sejauh ini masih enggan untuk menaikkan suku bunga. Pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) kemarin, BI mempertahankan suku bunga acuannya.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada22-23Juni2022memutuskan untuk mempertahankan BI7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry, dalam jumpa pers usai RDG, Kamis (22/6/2022).

Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia, dan sudah ditahan selama 16 bulan.

"Keputusan ini sejalan dengan upaya pengendalian inflasi dan menjaga nilai tukar rupiah. Ditambah dengan adanya tekanan eksternal terkait dengan risiko stagflasi di berbagai negara," lanjut Perry.

Namun, BI sebelumnya juga mengambil langkah pengetatan likuiditas dengan menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap hingga September nanti.

Kenaikan GWM tersebut diperkirakan bisa menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp 110 triliun, tetapi juga tidak mengganggu kemampuan bank untuk menyalurkan kredit. Sebab rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) diperkirakan berada di kisaran 28%, jauh lebih longgar ketimbang sebelum pandemi sekitar 21%.

Dengan kebijakan tersebut, diharapkan inflasi bisa terkendali, dan tidak meredam momentum pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, nilai tukar rupiah menjadi salah satu faktor yang bisa memicu inflasi. Jika nilai tukar rupiah merosot tajam, maka inflasi berisiko meninggi. BI sepanjang tahun ini sukses mengawal pergerakan rupiah.

Memang belakangan ini tekanan terhadap rupiah semakin membesar setelah bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.

Ketua The Fed, Jerome Powell juga menyatakan di bulan depan suku bunga bisa dinaikkan lagi sebesar 50-75 basis poin. Sementara di akhir tahun, suku bunga diproyeksikan berada di 3,25% - 3,5%.

Rupiah memang tertekan akibat kenaikan suku bunga tersebut, tetapi kinerjanya masih cukup bagus ketimbang mata uang Asia lainnya.

Sepanjang tahun ini pelemahan rupiah tercatat sekitar 4%, terbaik kedua dibandingkan mata uang utama Asia lainnya. Rupiah hanya kalah dari dolar Singapura yang melemah 3%.

Pelemahan rupiah yang tidak terlalu besar di tahun ini membuat BI memiliki ruang untuk mempertahankan suku bunga, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Selain itu, melihat porsi asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang saat ini sekitar 17%, turun jauh ketimbang sebelum pandemi di kisaran 30%, capital outflow yang terjadi tentunya tidak akan sebesar tahun 2020 saat awal masa pandemi.

BI juga punya cadangan devisa yang cukup besar guna menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak yang berlebihan. Sehingga, selama nilai tukar rupiah stabil, diharapkan inflasi masih bisa terkendali.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Anggaran BI Surplus Rp 26,12 Triliun Selama 2021

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular