
Beda Arah, Kenapa BI Tak Naikkan Suku Bunga Seperti AS dkk?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Juni 2022 memutuskan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) tetap 3,5%. Begitu juga suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Langkah BI memang berbeda dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara di dunia yang sudah lebih dulu menaikkan suku bunga acuan.
Bank Sentral AS The Fed menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak tahun 1994. Kenaikan suku bunga yang agresif hampir pasti akan terjadi sebab inflasi di AS terus menanjak.
Selanjutnya bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), dan bank sentral Swis serta Kuwait dan Brasil. Bank sentral Eropa (ECB) juga mengatakan akan menaikkan suku bunga mulai Juli.
Sementara yang belum menaikkan suku bunga acuan seperti Indonesia adalah Jepang, China, Thailand, hingga Rusia.
BI sudah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 3,5% sejak Februari 2021 atau sudah bertahan selama 16 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.
"Keputusan ini sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar, serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi, di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers.
"BI terus mencermati risiko tekanan inflasi ke depan, termasuk ekspektasi inflasi dan dampaknya terhadap inflasi inti, dan akan menempuh langkah-langkah normalisasi kebijakan moneter lanjutan sesuai dengan data dan kondisi yang berkembang," jelasnya.
Kebijakan suku bunga acuan memang menjadi perhatian khusus investor. Sebab itu menjadi acuan pemilik modal dalam pengambil keputusan investasi, khususnya portofolio.
Ketika suku bunga acuan, seperti AS naik, maka yield US Treasury (UST) juga akan mengikuti. Namun menurut Perry hal tersebut tidak berlaku mutlak. Bisa jadi ada kenaikan yield, akan tetapi cuma sedikit.
"Pada akhirnya yang akan menentukan investor adalah yield UST dibandingkan yield SBN. Itu yang akan menentukan investor membeli SBN atau tidak," paparnya.
![]() Sesuai Proyeksi, BI Tahan Suku Bunga Acuan di 3,5% (CNBC Indonesia TV) |
Jadi meskipun tidak ada kenaikan suku bunga acuan di Indonesia, namun yield SBN dibandingkan US Treasury cukup kompetitif, maka bisa mengundang aliran dana masuk (inflow). Meskipun Perry menyadari dalam beberapa waktu terakhir ada kecenderungan outflow.
"Memang betul aliran asing untuk SBN tidak kuat dan bukan berarti akan mengganggu nilai tukar rupiah," ujarnya.
Nilai tukar Rupiah sampai dengan 22 Juni 2022 terdepresiasi sekitar 4,14% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2021, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India 5,17%, Malaysia 5,44%, dan Thailand 5,84%.
Ketahanan rupiah didorong oleh pasokan valuta asing yang cukup, imbas surplus neraca perdagangan yang besar. Hingga saat ini tercatat surplus terjadi selama 25 kali beruntun.
"Pasokan valas tinggi dan menjaga stabilitas rupiah," kata Perry
"Itu kenapa meskipun BI tidak menaikan suku bunga, tidak akan mengganggu ketahanan eksternal kita, karena CAD rendah dan FDI inflow rendah, PMA tinggi, cadev lebih cukup dan BI akan jaga stabilitas rupiah," pungkasnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Turunkan Suku Bunga? Boleh, Tapi Awas Ada yang 'Terbang'!